Sabtu, 11 Mei 2013

BUDAYA YANG TERSEMBUNYI DI INDONESIA (SUKU dayak kalimantan timur)



BUDAYA YANG TERSEMBUNYI DI INDONESIA (SUKU  dayak kalimantan timur)

suku dayak merupakan suku asli dari kalimantan yang hidup berkelompok dan tinggal di daerah pedalaman seperti digunung dan sebagainya.kata dayak sebenarnya diberikan oleh orang mmelayu yang datang ke kalimantan.semboyan orang dayak adalah “menteng ueh mamut” ,yang artinya seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani , serta tidak mengenal menyerah atau pantang mundur.

                                Pada tahun 1977-1978 saat itu benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian nusantara yang menyatu yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.

                                Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, suku Dayak hidup terpencar-pencar diseluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama,mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku yang brebeda-beda.

uku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).

Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah hegemoni Majapahit) atau di era Islam.

Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.

Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)

Dibawah ini ada beberapa adat istiadat bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman Kalimantan

>< UPACARA TIWAH

Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke sandung yang sudah dibuat. Sandung adalah tempat semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.

Upacar Tiwah bagi suku Dayak sangatlah sakral, Pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang mati tersebut diantarkan dan diletakan di tempatnya (Sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain, Sampai akhrinya tulang-tulang itu diletakan pada temapatnya (sandung).

>< DUNIA SUPRANATURAL

Dunia Supranatural bagi suku Dayak memang sudah sejak zaman dulu merupakan ciri khas Kebudayaan Dayak.Karena supranatural ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ). Namun pada kenyataannya suku Dayak adalah suku yang sangat Cinta Damai asal mereka tidak diganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.

Mangkok MeraH

Mangkok merah merupakan media persatuan suku Dayak. Mangkok merah beredar jika Suku Dayak merasa kedaulatan mereka dalam bahaya besar. “PANGLIMA” atau suku Dayak sering menyebutnya Pangkalima biasanya mengeluarkan isyiarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang diedarkan dari kampung ke kanpung secara cepar sekali. Dari penampilan sehari-hari banyak orang tidak mengetahui siapa pangkalima suku Dayak itu. Orangnya itu bisa-biasa saja, hanya saja ia memiliki kekuatan Supranatural yang luar biasa.

Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.

Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila mendengar tariu.

Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.

Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan. Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan kain merah.

Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.

Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek ke bapak, dari bapak ke anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi lebih atau kurang dari yang sebenarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh dengan ” Palangka Bulau”. >>> Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tanduk yang suci, gandar yang suci dari emas turun ke langit yang sering disubut juga ” Ancang atau Kalangkang”.

                  
                         Asal Usul Dayak dan Pengelompokannya - Orang Dayak adalah penduduk  asli (indigenous people) pulau Kalimantan atau Borneo. Menurut asal- usulnya, mereka  adalah imigran dari daratan Asia, yakni Yunan di Cina Selatan. Kelompok imigran yang pertama kali masuk adalah kelompok ras Negrid dan Weddid (Coomans,1987) yang kini tidak ada lagi, serta ras Australoid (Mackinnon,1996). Selanjutnya adalah kelompok imigran Melayu yang datang sekitar tahun 3000-1500SM. Kelompok imigran terakhir adalah kelompok yang masuk sekitar tahun 500 SM (Coomans,1987),yaitu ras Mongologid (Coomans,1987; sellato,1989; Rousseau1990).

Secara harafiah, kata “Dayak” berarti orang yang berasal dari pedalaman atau gunung. Oleh karena itu, orang Dayak berarti orang gunung atau orang pedalaman. Kata “Dayak” ini juga merupakan nama kolektif bagi banyak kelompok suku di Pulau Kalimantan atau Borneo. Dalam suku “Dayak” itu sendiri, terdapat kelompok-kelompok “Suku” yang sangat heterogen dengan segala perbedaannya, seperti bahasa, corak seni, organisasi social dan berbagai unsur budaya lainnya (Nieuwenhuis, 1990)

Masyarakat Dayak di pulau Kalimantan terdiri dari kelompok-kelompok suku besar dan sub-sub suku kecil. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa jumlah subsuku Dayak bekisar 300 sampai 450-an (Duman,1924;Ukur,1992; Riwut,1993; sellato,1989; Rousseau,1990). Selain itu, dalam kaitanya dengan klasifikasi suku-suku Dayak, juga dihadapkan dengan beraneka ragam versi. Berdasarkan hukum adat, Mallinckrodt (Het Adatrecht vanv Borneo,leiden:1928) mengklasifikasikan suku Dayak kedalam enam subsuku besar yang disebutnya stammenras, yaitu (1)kenyah-kenyah-bahu; (2)Ot danum; (3)Iban; (4)murut; (5)kleamantan; dan (6)punan.

Lain halnya dengan W.Stohr (“Das Totenritual der Dajak”,dalam etnologia,Koln:1959) yang membagi suku Dayak ke enam subsuku dengan dasar “totenritual”,yaitu (1)kenyah-kenyah-bahau, (2)Ot danum (Ot danum,Ngaju,Ma’anyan,luangan); (3)Iban; (4)Murut (dusun,murut, kalabit ; (5) klemantan (klemantan,Dayak Darat ); dan(6) punan. Sedangkan Hudson(1967)membagi suku Dayak k dalam tiga kelompok besar atas dasar bahasa (Ukur,dalam mubyarto,dkk.1991;31-32).

Sellato (1989) mengklasisikasikan suku Dayak ke dalam delapan kelompok besar,yaitu (1)orang melayu; (2)orang iban ; (3)kelompok baito(Ot-danum, siang, murung, luangan, ma’anyan, benuag, bentian, dan tunjung); (4)kelompok Barat; (5)kelompok timur laut; (6)kelompok Kenyan dan kenyah yang tinggal di Kalimantan timur dan pedalaman serawak; (7)kelompok utara tengah yang mendiami bagian utara Kalimantan, seperti orang kelabit,lun Dayeh,lun bawang dan murut bukit, orang kajang, Berawang,dan melanau di sebelah barat Kalimantan. Dalam kelompok ini,hanya orang kelabit dan lun dayeh yang bersawah; dan(8)suku penan (bekatan,punan,dan bukat)yang merupakan suku pengembara di Kalimantan (Singarimbun,1996:262-264; Mac kinnon dkk.,1996:356-363;sellato,1989). Klasifikasi sellato ini dibuat berdasarkan alasan-alasan (1)aliran sungai; (2)geografis,etnografis, dan budaya material; (3)bahasa yaitu bahasa austronesia, bahasa Filipina, bahasa melayu, bahasa di sulawesi selatan, dan bahasa madagaskar; (4)cara dan tempat penguburan orang meninggal; (5)struktur dan stratifikasi social;dan (6)mata pencahrian hidup,dan lain-lain(sellato,1989:58-62).

Dalam teori antropologi dan hukum adat, metode klasifikasi sebagai mana di sebutkan di atas, telah di lakukan oleh beberapa ahli sejak lama. Misalnya,pertama-tama adalah van vollenhoven (1918)yang menciptakan konsep “daerah hukum adat”(recbtskring). Menurutnya, di Indonesia terdapat 19 daerah hukum adat, dan salah satunya adalah Kalimantan atau borneo. Kemudian,franz Boas (1930)membuat konsep “culture area” .selanjutnya , J.steward (1955)yang menciptakan konsep “tipe sosio-kultural”yang diterapkan dalam konteks indonesia oleh Clifford geertz (1963), Hildred Geesrtz (komunitas budaya),dan Koentjaraningrat (1971). Akhirnya, Ave (1970) yang memperkenalkan konsep klasifikasi masyarakat berdasarkan aspek produksi,yaitu (1)mata pencaharian pokok; (2)mata pencaharian pelengkap; dan (3) peralatan dan teknologi. Ketiganya disebut mode of production (Marzali,1997:141-147).


SISTEM KEPERCAYAAN SUKU DAYAK KALIMANTAN TENGAH
 
Penduduk Dayak memiliki dasar kepercayaan Kaharingan.Istilah Kaharingan diambil dari kata Danum Kaharingan yang berarti air kehidupan.Orang Dayak percaya bahwa di dunia ini banyak terdapat roh-roh halus. Mereka percaya akan : Sangiang (roh yangtinggal di tanah dan udara) ; Timang (roh yang tinggal di batu keramat) ; Tondoi (rohyang tinggal di bunga) ; Kujang (roh yang tinggal di pohon) ; Longit (roh yang tinggal di mandau-mandau). Roh nenek moyang Suku Dayak sangat berpengaruh pada kehidupan. Beberapa istilah :roh nenek moyang = Liu dunia roh = Ewu Liu (negeri kaya raya) Dewa tertinggi = Ranying Proses bagi yang meninggal Upacara pembakaran mayat :- Tiwah : Ngaju- Ijambe : Ma ‘anyan- Daro : Ot Danum Peti mayat disebut lesung, yang merupakan kuburan sementara. Sandung / tambak : tempat untuk menyimpan tengkorak yang tidak dibakar dan abu yang berasal dari yang dibakar.
            Sejak awal kehidupannya, orang Dayak telah memiliki keyakinan yang asli milik mereka, yaitu Kaharingan atau Agama Helo/helu/. Keyakinan tersebut, menjadi dasar adat istiadat dan budaya mereka. Agama Helo/helu/ atau Kaharingan hingga saat ini masih dianut oleh sebagian besar orang Dayak, walau pada kenyataannya, tidak sedikit orang Dayak yang telah menganut agama Islam, Kristen, Katholik. Demikian pula tidak semua penduduk pedalaman Kalimantan adalah orang Dayak, karena telah berbaur dengan penduduk dari berbagai suku akibat perkawinan dan berbagai sebab lain. Walaupun demikian, tradisi lama dalam hidup keseharian mereka masih melekat erat tidak hanya dalam bahasa, gerak-gerik, symbol, ritus, serta gaya hidup, namun juga dalam sistem nilai pengartian dan pandangan mereka dalam memaknai kehidupan. Agama Kaharingan diturunkan dan diatur langsung oleh Ranying Hatalla. Ranying Hatalla adalah Allah yang Mahakuasa. Keyakinan tersebut hingga saat ini tetap dianut dan ditaati oleh pemeluknya secara turun-temurun. Kaharingan tidak mempunyai buku pedoman atau tokoh panutan sebagai pendiri yang merupakan utusan Ranying Hatalla.
Agama Kaharingan percaya pada satu Tuhan yang disebut dengan nama Ranying Hattalla (Tuhan Yang Maha Esa). Tempat pertemuan atau berfungsi semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Ibadah rutin Kaharingan yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan adalah :
·         Panaturan, sejenis kitab suci
·         Talatah Basarah, kumpulan doa
·         Tawar, petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras
·         Pemberkatan Perkawinan, dan
·         Buku Penyumpahan/Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan.
Sedangakan untuk hari raya atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah,
Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Pohon Batang Garing berbentuk seperti tombak dan menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah pohon yang ditandai oleh adanya guci berisi air suci yang melambangkan Jata atau dunia bawah. Antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan.
Buah Batang Garing ini, masing-masing terdiri dari tiga yang menghadap ke atas dan tiga yang menghadap ke bawah, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat. Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Disinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini. Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau.

Religi dan Makna Upacara Kematian Masyarakat Dayak

 Dalam banyak religi di dunia, upacara kematian menempati tempat utama dan paling esensial dalam seluruh rangkaian upacara yang pernah dikenal dalam kebudayaan manusia. Bagi Masyarakat dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan, paling tidak terdapat dua makna dalam penyelenggaraan upacara kematian, yakni makna religius dan makna sosial. Makna pertama, adalah sebagai penghormatan terakhir dan pensucian arwah sekaligus mengantarkannya ke dunia yang abadi. Makna kedua adalah makna sosial sebagai media berinteraksi antar sanak saudara, tetangga, dan masyarakat sekelilingnya. Dalam dimensi ini upacara kematian mampu mempertemukan berbagai kepentingan yang berasal dari berbagai golongan dan lapisan sosial yang berbeda, bahkan menjalin hububungan yang harmonis antar etnik. Dengan demikian makna sosial dari upacara kematian ini adalah menjaga keteraturan dalam masyarakat.

Bagi studi etnoarkeologi, upacara kematian masyarakat dayak dapat dipergunakan sebagai jendela untuk melihat perilaku masyarakat masa lampau tentang konsep hidup sesudah mati dan sistem penguburan yang tidak dapat diamati oleh data arkeologi. Warisan budaya, living tradition ini sekarang menghadapi tantangan zaman, akibat pengaruh dari globalisasi yang sukar untuk dapat dikendalikan. Pendokumentasian dan penelitian yang serius, sangat mendesak untuk segera dilakukan. Dalam konteks upaya pelestarian inilah, pemerintah perlu menempatkan diri sebagai fasilitator bukan legislator. Artinya pemerintah harus memposisikan sebagai pengemban, bukan pemilik dari kebudayaan itu, sedangkan semuanya diserahkan kepada kemauan masyarakat selaku pemilik dan pewaris dari kebudayaan yang bersangkutan.

 Religi bukanlah subyek baru dalam ilmu arkeologi. Salah satu bukti aktivitas religi pada masa lampau adalah adanya jejak penguburan yang tersebar luas di wilayah Indonesia. Kecenderungan religi sebagai salah satu unsur kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan dinamis. Religi bukan sekedar unsur budaya yang idealistik yang konsepsi-konsepsinya dipalut oleh aura faktual agar kelihatan realisitis, melainkan merupakan unsur budaya yang aplikatif.

Selama ini cara kerja arkeologi adalah berdasarkan pada archaeological records, yaitu kebudayaan materi yang pada hakekatnya merupakan wujud ide, gagasan atau kepercayaan masyarakat penciptanya. Oleh karena yang dipelajari adalah budaya materi yang masyarakat penciptanya telah punah, maka mengikuti kerangka pemikiran tersebut, rekonstruksi yang dilakukan oleh arkeologi sebenarnya hanya terbatas pada “etik” dan belum mampu menjangkau ke “emik” (Magetsari, 1995). Hal itu berarti, jika misalnya kita meneliti masalah kepercayaan atau religi masyarakat yang telah punah, kita tidak akan mampu membongkar sepenuhnya, karena adanya jarak waktu maupun jarak kebudayaan yang sangat jauh antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti (telah punah).

Ketidakmampuan arkeologi mengobservasi secara langsung terhadap “fakta arkeologi” yang telah punah tadi merupakan penyebab arkeologi tidak dapat menjangkau emik. Keterbatasan ini sudah lama disadari oleh Piggot yang menjelaskan bahwa arkeologi memang mampu mendeskripsikan bahkan menyusun teori tentang organisasi upacara penguburan, tetapi tidak mungkin mengetahui latar belakang kepercayaannya (Piggot, 1959; Magetsari, 1995).

Dari paparan di atas, menjadi jelas, bahwa kepercayaan yang melatarbelakangi upacara kematian dan sistem penguburan suatu masyarakat prasejarah, misalnya, tidak mungkin dapat diungkapkan melalui kajian artefak atau arhaeological records. Melihat kenyataan di atas, maka upaya mengungkapkan konsep kepercayaan mayarakat prasejarah khususnya konsep kematian dan sistem penguburan pada masyarakat yang telah hilang itu, perlu memanfaatkan metode lain yaitu metode “analogi”. Pengertian analogi di sini adalah memahami historical culture melalui analogi etnografi yang sekarang lazim dikenal dengan etnoarkeologi. Tujuan dari analogi ini ialah untuk memperoleh model kebudayaan yang mampu diproyeksikan pada kebudayaan masa lampau (Watson, 1971: 50). Dalam konteks kepentingan kajian etnoarkeologi inilah, kepulauan Kalimantan merupakan salah satu daerah penting, karena daerah ini menyimpan banyak data etnografis yang belum tergarap. Berbagai konsep dari tradisi prasejarah masih banyak yang dipertahankan dan bahkan dipraktikkan oleh masyarakat dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan.

Tulisan ini akan mencoba mengkaji makna upacara kematian yang masih sering dipraktikkan oleh berbagai suku masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan, sebagai bahan analogi para arkeolog untuk mengungkapkan berbagai fakta budaya pada masa prasejarah yang tidak dapat diamati melalui artefak. Dengan demikian hasil dari pemaparan etnografi ini diharapkan dapat diposisikan sebagai media intepretasi atau eksplanasi terhadap data arkeologi yang pernah ditemukan di situs-situs penguburan prasejarah di Kalimantan. Dengan perkataan lain dari analogi data etnografi ini dapat diperoleh model kebudayaan yang mampu diproyeksikan pada kebudayaan masa lampau. Namun demikian perlu diingat, bahwa tidak semua tingkah laku masyarakat yang diperlukan dalam analogi tersebut tersedia pada masyarakat sekarang. Demikian pula sebaliknya, tidak semua tingkah laku masyarakat pada masa sekarang relevan untuk dianalogikan dengan masa lalu karena perkembangan atau perubahan (Kramer, 1979:2).


 2. Religi Sebagai Sistem Kebudayaan

 Istilah religi pada umumnya mengandung makna kecenderungan batin manusia untuk berhubungan dengan kekuatan alam semesta, dalam mencari nilai dan makna (Hadikusuma, 1993:17-19). Kekuatan alam semesata itu dianggap suci, dikagumi, dihormati, dan sekaligus ditakuti karena luar biasa sifatnya. Manusia percaya bahwa “Yang Suci” itu ada dan di luar kemampuan dan kekuasaannya, sehingga manusia meminta perlindunganNya dengan cara menjaga keseimbangan alam melalui berbagai upacara. Siapakah yang maha suci, kalau bukan yang diagungkan dewa atau bentuk manisfestasinya dalam wujud benda, roh leluhur menurut kepercayaannya. Dengan demikian, istilah religi di sini menunjukkan adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan ghaib di luar kemampuannya, berdasarkan kepercayaan atau keyakinan mereka yang termanifestasikan ke dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem gagasan, sistim tindakan dan artefak.

Dengan pengertian tersebut di atas, religi adalah fenomena yang kompleks dan terelaborasi ke dalam setiap segmen kehidupan manusia. Oleh karena itu tidak heran jika muncul banyak batasan dari para ahli yang saling berbeda, tergantung dari sudut pandang keilmuan masing-masing. Antropolog misalnya, memandang religi sebagai gejala budaya. Oleh karena itu, yang dipelajari dan dianalisa antara lain, berupa ritus, mitos serta praktik-praktik religius dan berkenaan dengan aspek simbol (Winangun, 1990: 66).

Definisi yang melihat religi sebagai suatu upaya simbolis dikemukakan oleh J.van Ball (1971:242) :
 “Religi adalah suatu sistem symbol-simbol yang dengan sarana tersebut manusia berkomunikasi dengan jagat rayanya. Simbol-simbol itu adalah sesuatu yang serupa dengan model-model yang saling menjembatani berbagai kebutuhan yang saling bertentangan untuk pernyataan diri dengan penguasaan diri …….. Bila tujuan (yakni obyek yang dikomunikasi itu) menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata lisan, maka simbol-simbol itu berfungsi sebagai perisai yang melindungi (menghalangi) seseorang dari kecenderungannya untuk memperagarakannya secara langsung”.

Uraian di atas membuktikan kompleksnya pengertian tentang religi, namun pada prinsipnya religi harus memuat lima unsur yaitu, adanya emosi, keyakinan, upacara, peralatan dan pemeluk atau para penganut. Hal yang terakhir ini cukup penting karena suatu upacara atau tindakan simbolis tertentu seperti berdoa menadahkan tangan ke atas bukan hanya sekedar gerakan kinetik tanpa arti. Gerakan tangan tersebut seringkali merupakan gerakan simbolis yang sarat dengan makna. Demikian definisi tentang religi itu yakni definisi yang memeri memuat hal-hal keyakinan, upacara dan peralatan, sikap dan perilaku, alam pikiran dan perasaan di samping hal-hal yang menyangkut para penganutnya sendiri (Koentjaraningrat, 1974:269-272).

Data tentang religi cukuplah kompleks dapat berupa pandangan orang-orang atau masyarakat yang bersangkutan tentang hidup sesudah mati, hal-hal yang dapat dipandang sebagai rujukan untuk menjelaskan dan menata lingkungan nyata, tentang dewa-dewa atau segala sesuatu yang dipandang orang sebagai obyek keramat dan dihormati atau segala sesuatu yang dipandang maha dahsyat yang orang berlaku tunduk kepadanya. Data religi itu juga berupa sejumlah atau serangkai tindak perbuatan seperti berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, makan bersama, menari, dan menyanyi, berprosesi, berseni drama suci, berpuasa, bertapa, bersemedi dan intoksinasi (Koentjaraningrat, 1980:81). Atau seperti yang dikemukakan oleh Anthony F.C. Wallace (1966) sebagai berdoa atau bersembahyang yang ditujukan kepada yang adikodrati (supernatural) memainkan alat dan memperdengarkan musik yang diiringi oleh tarian dan nyanyian tertentu, melakukan perbuatan kinetik tertentu yang menggambarkan keadaan psikis tertentu, memberikan “peringatan” atau khotbah yang ditujukan kepada orang lain, mengucapkan mantera yang menyangkut mite, moral dan aspek keyakinan, melakukan simulasi, menggunakan atau memakai benda tertentu yang diyakini mempunyai mana, berbuat tabu yakni tidak menggunakan atau menyentuh sesuatu, berpesta atau berselamatan, berkorban yakni menyediakan dan menyerahkan sesajen, berkonggresi seperti berkumpul bersama, dlsb.

Bertolak dari pandangan ini, maka sebutan religi tidak hanya dikenakan bagi Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha yang mempunyai penganut terbesar dan berasal dari berbagai bangsa, tetapi juga terhadap semua keyakinan yang diorganisasikan dalam sistem-sistem tertentu dan tindakan-tindakan berupacara yang dianut dan dilakukan oleh sedikit orang dalam masyarakat-masyarakat bersahaja. Kelima “religi dunia” tersebut di atas di negeri ini di sebut “agama” sedangkan “religi local” yang dianut terbatas oleh suatu kelompok etnis tertentu dengan jumlah pemeluk relatif sedikit disebut “kepercayaan” atau “keyakinan”.

Karya-karya Clifford Geertz mengenai religi, kebudayaan, dan upacara, memperlihatkan suatu perspektif tersendiri berkenaan dengan pengkajian mengenai sistem-sistem kognitif dan simbolik. Bagi Geertz, religi merupakan bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan tersebut. Seperti dikatakannya : (1973:90).

Religi adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai hukum/keteraturan (order), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aura tertentu yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada.

Walaupun pemikiran religi dikatakannya sebagai tidak semata-mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi religi juga dilihat sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan; suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan individual. Lebih jauh Geertz (1973: 89) beranggapan:
 Kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan.

Dari tujuh unsur kebudayaan yang kita pahami selama ini, religi atau kepercayaan merupakan bagian kebudayaan yang sukar berubah. Koentjaraningrat ( 1990:97) dengan mengutip konsepnya R. Linton, menjelaskan bagian kebudayaan yang sulit berubah terkategori dalam covert culture atau inti dari suatu kebudayaan antara lain berupa keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat dan sistem nilai budaya. Adapun bagian dari kebudayaan yang lebih mudah berubah terkategori ke dalam overt culture (perwujudan lahiriah) seperti misalnya peralatan. Secara hipotetis dapat dikatakan bahwa tidak mungkin suatu sistem religi dari sekelompok masyarakat tertentu dapat musnah, karena religi adalah inti dari kebudayaan (covert culture) masyarakat. Itulah sebabnya mengapa religi yang dianut pada masa prasejarah masih banyak yang bertahan hingga sekarang , khususnya oleh masyarakat dayak yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan.

Masalahnya adalah bagaimana dengan suatu religi yang kemudian terkikis dengan masuknya religi yang baru. Apakah masyarakat pendukung religi yang lama ini akan kehilangan pegangan akibat bergesernya sistem kepercayaannya? Jawabannya adalah prosesnya tidak semudah itu. Karena mungkin saja suatu sistem religi itu berubah rupa maupun penampilannya, namun sesungguhnya inti dari religi tersebut masih bisa sama. Maksudnya adalah, bisa saja secara hipotetis suatu religi berganti oleh religi lain, namun ide-ide dasar dari religi yang lebih baru itu sebenarnya memiliki kesamaan-kesamaan dengan religi yang tergantikan itu. Oleh karena itu seringkali terjadi mengapa penyebaran religi tertentu disebarkan ke suatu masyarakat tertentu dianggap kurang efektif dan berkembang dibanding pada masyarakat lainnya. Atau ada religi tertentu disebarkan ke masyarakat tertentu, ternyata hasilnya lebih efektif dan berkembang dibanding religi lainya yang juga disebarkan. Alasannya, karena memang ada kesamaan ide-ide dasar dari religi yang disebarkan dengan religi lokal yang telah ada sebelumnya. Akibat kesamaan ide-ide dasar inilah salah satu faktor penyebab bertahannya konsep-konsep religi sejak zaman prasejarah hingga sekarang sebagaimana diperlihatkan oleh aktivitas keagamaan berbagai suku dayak di pedalaman kepulauan Kalimantan.

Salah satu konsep religi masa prasejarah yang hingga sekarang masih berlanjut dan bahkan melekat dan mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat dayak [1] adalah konsepsi tentang penghormatan terhadap roh leluhur. Masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan, secara umum meyakini kematian bukan sekedar berakhirnya suatu kehidupan melainkan hanya dianggap sebagai perpindahan dari dunia fana ke dunia baka. Dengan kata lain, kematian bukan akhir dari kehidupan melainkan justru sebagai awal dari suatu kehidupan di dunianya yang baru.

Tetapi masalah religi sebenarnya tidak sekedar bagaimana manusia mengkosepsikan hidup sesudah mati, tetapi juga masalah mengapa mereka mengkosepsikan hal itu dan untuk apa semua itu bagi kehidupan seseorang di dalam masyarakat. Paling tidak ada tiga fungsi religi yaitu pertama, membantu dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat. Kedua, menyajikan berbagai penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta ruang dan waktu. Ketiga, religi memainkan peranan yang besar bagi individu-individu karena religi menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka sandaran bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan kekacauan yang dihadapi manusia. Keempat, religi mampu menyatukan berbagai faktor dan bidang kehidupan ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, sehingga menciptakan rasa aman dan dan pencapaian tujuan kebenaran bersama (Radam, 1987: 21).


 3. Makna Upacara Kematian

A. Makna Religius
 Di kalangan masyarakat Dayak secara umum meyakini bahwa roh orang yang sudah meninggal jika belum diselenggarakan upacara kematian (tiwah, atau ijambe, dll) maka roh dapat mengganggu manusia yang masih hidup (Dyson, L. Dan Asharini , 1981: 69). Dalam pengertian ini kematian hanyalah perubahan dalam wujud fisik, tetapi roh akan terus hidup. Keyakinan atau kepercayaan masyarakat dayak seperti itu, adalah salah satu bagian dari sistem ideologis yang juga salah satu wujud kebudayaan.

Namun demikian kepercayaan atau keyakinan itu belumlah dapat dikatakan sebagai religi. Barulah bila ada upacara yang terkaitkan dengan keyakinan tersebut, religi yang menyeluruh terbentuk (Firth, 1972:216). Kedua unsur esensial antara keyakinan dan upacara adalah saling memperkuat. Keyakinan menggelorakan upacara, sebaliknya upacara merupakan upaya pembenaran terhadap keyakinan tersebut. Upacara itu berfungsi mengkomunikasikan keyakinan kepada semua orang (Goldscmidt, 1971:526). Keduanya tidak dapat dipisahkan yang satu terlepas dari yang lainnya. Jalur upacara inilah merupakan bentuk budaya dalam sistem tindakan. Oleh karena itu, untuk mengantar roh orang meninggal tersebut ke dunia akhirat maka masyarakat dayak perlu melakukan serangkaian upacara kematian. Pada masyarakat Dayak Ngaju, upacara kematian ini disebut tiwah dan pada masyarakat Dayak Ma’anyan dinamai ijambe, serta wara atau mabatur bagi masyarakat Dayak Lawangan.

Jika orang dayak meninggal dunia, maka jenazah dimasukkan kedalam peti mati yang oleh masyarakat Dayak Ngaju disebut Raung, Dayak Ma’anyan menyebut tabela. Raung atau tabela ini berbentuk perahu sebagai simbol perjalanan roh dan diberi hiasan burung enggang (hornbill) sebagai simbol dunia atas. Tutup dan badan raung disatukan setelah jenazah dimasukkan lalu diikat dengan tali rotan yang dianyam yang disebut saluang. Ketika jenazah dimasukkan di dalam raung, beberapa benda kesayangan si arwah semasa hidupnya juga diikut sertakan bersamanya sebagai bekal kubur. Raung berisi jenazah dan bekal kubur tersebut ditanam di dalam tanah. Tetapi kuburan tersebut sementara sifatnya, sebab yang terpenting adalah upacara pelepasan roh yang oleh masing-masing etnik masyarakat dayak berdeda-beda penyebutannya. Baik upacara kematian Tiwah, Ijambe dan upacara Wara atau mabatur, merupakan upacara penguburan sekunder dengan pengambilan tulang-tulang untuk dipindahkan ke kuburan permanen. Di atas kuburan permanen itulah didirikan bangunan yang disebut pambak, Sandong [2]. untuk masyarakat Dayak Ngaju, tambak untuk Dayak Ma’anyan, Kriring untuk dayak Lawangan, dll

Upacara kematian baik tiwah, Ijambe dan upacara Wara atau mabatur, merupakan upacara yang bertujuan mengantarkan arwah ke dunia baka, dan merupakan puncak serta akhir dalam rangkaian upacara kematian orang-orang kaharingan. Upacara ini diselenggarakan biasanya selang setahun sampai dengan beberapa tahun setelah seseorang meninggal, tergantung dari kesiapan keluarga yang ditinggalkan dalam menyelenggarakan upacara. Upacara kematian ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan kosmos yang diharapkan dapat memberikan keselamatan baik kepada roh si mati maupun terhadap manusia yang ditinggalkan.

Sebagaimana telah diuraikan di depan, bahwa upacara kematian dilakukan sejalan dengan sistem kepercayaan yang dianut dan sistem kepercayaan tersebut adalah bagian dari kebudayaan masyarakat Dayak . Jadi upacara dilaksanakan sesuai dengan pedoman-pedoman yang berlaku yang ada dalam kebudayaannya. Sedangkan untuk mengatur pelaksanaan upacara tersebut telah ada pranata-pranata khusus sehingga upacara dapat berjalan tertib dan teratur. Pekerjaan mengumpulkan tulang-tulang dan kemudian menempatkan ke dalam sandong telah memiliki aturan-aturan khusus yang telah berlaku secara turun temurun. Hal ini dapat kita lihat pada waktu orang-orang mengumpulkan sisa-sisa jenasah dengan urut-urutan sebagai berikut: mula-mula yang diambil adalah bagian kepala, menyusul bagian leher, badan dan seterusnya hingga ke ujung jari-jari kaki, kemudian dibungkus dan dimasukkan ke dalam wadah berupa peti kecil yang telah dipersiapkan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan kepercayaan bahwa roh nenek moyang selalu mempunyai hubungan dengan orang-orang yang masih hidup di terutama dengan sanak cucunya. Secara singkat makna religius dari upacara kematian adalah membangkitkan arwah untuk disucikan sekaligus diantarkan keduanianya.

Konsep kematian berbagai etnik masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan tersebut di atas, bersumber dari kepercayaan kaharingan [3] yang menekankan bahwa terdapat kehidupan setelah kematian. Konsep kepercayaan seperti itu sama dengan kepercayaan masyarakat prasejarah khususnya masyarakat megalitik yang didasari pandangan adanya hubungan antara yang hidup dengan yang mati, khususnya kepercayaan akan adanya pengaruh kuat dari roh manusia yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat ( Soejono, 1984).

Dalam pelaksanaan upacara kematian seprti misalnya upacara tiwah konsepsi kepercayaan prasejarah masih kuat sekali sebagaimana tercermin dalam bentuk-bentuk budaya materi yang sarat akan simbol-simbol kepercayaan terhadap roh leluhur. Hasil budaya materi tersebut di samping berupa sandong dan rarung yang dulu sengaja dibentuk menyerupai perahu simbol perjalanan roh, juga terdapat pada sapundu [4]  sebagai pengikat hewan korban kerbau dalam upacara tiwah. Upacara yang menuntut korban menurut Turner (1974 : 87) adalah upacara sentral dalam religi masyarakat yang sederhana.

Pada prinsipnya semua religi di dunia ini, memiliki sistem simbol sendiri-sendiri. Suatu simbol tidaklah memiliki nilai dan kedudukan yang univesal, tetapi berlaku terbatas dalam sisitem religi itu sendiri dan komunitasnya. Hewan korban kerbau misalnya, tidaklah memiliki nilai dan kedudukan religius apa pun jika hewan itu tidak dalam konteks sebagai upacara korban. Dia hanya seperti hewan kerbau lainnya yang tidak memiliki nilai intrisik religius sebagai kendaraan arwah, jika tidak berada di dalam sistem religi yang bersangkutan. Oleh karena nilai dan kedudukan simbol-simbol itu diberikan atau ditetapkan oleh sistem religi yang bersangkutan, dalam hal ini oleh komunitasnya, maka mempelajari upacara sebenarnya juga mempelajari simbol-simbol.

Dengan demikian, sebagai suatu keseluruhan, upacara mempunyai kedudukan sebagai perantara, simbolik, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan bagi keduanya (yaitu upacara dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan. Menurut Gertz (1973: 451) Kesanggupan dari upacara untuk bertindak dan berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan tingkat-tingkat tertentu yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial menjadi tingkat yang lebih tinggi sehingga membuat manusia menjadi sadar dengan melalui panca indera serta peranannya, dan mewujudkan adanya ke-seia-sekataan yang secara struktural dalam bentuk simbolik. Dengan demikian, hubungan antara upacara dengan agama di satu pihak dengan organisasi sosial di lain pihak adalah merupakan hubungan yang langsung. Peranan simbol adalah untuk mewujudkan atau mengekspresikan hubungan-hubungan yang ada, dan bukannya untuk menghubungkan hubungan-hubungan ini dengan kehidupan manusia secara konseptual berikut segala implikasinya.

B. Makna Upacara Sebagai Media Ikatan Sosial
 Upacara kematian atau penguburan masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan, bukan sekedar aktivitas seremonial tanpa makna. Upacara ritual ini juga dapat dipandang sebagai pendisiplinan yang memberikan kekuatan dasar bagi suatu kelompok masyarakat untuk saling lebih terikat satu dengan yang lain secara berkesinambungan. Fungsi upacara tidak sekedar bersifat sakral melainkan juga bersifat sosial. Fungsi sosial upacara secara umum menurut Brown (1965:242) akan mengatur, mempertahankan dan memindahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya sentimen-sentimen yang menjadi landasan kelangsungan dan ketergantungan dalam masyarakat yang bersangkutan

Fakta budaya memperlihatkan, masyarakat dayak pada umumnya merasakan adnyanya semacam kewajiban moral dan sosial untuk melaksanakan upacara kematian terakhir. Kuwajiban moral, di dasari oleh anggapan bahwa orang yang meninggal jika belum diselenggarakan upacara terakhir maka jasad tidak dapat memasuki dunia arwah yang serba abadi, arwah akan tetap berada di sekitar sanak keluarga yang masih hidup dan bahkan dapat mengancam ketenangan. Kepercayaan inilah yang secara psikologis sangat mengganggu pikiran bagi mereka yang belum melakukan upacara mengantarkan roh.

Sedangkan kuwajiban sosial yang dimaksud, adalah perasaan yang tidak enak terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya jika belum melakukan upacara. Kecenderungan upacara tiwah misalnya sebagai penghormatan terakhir terhadap orang yang meninggal, maka bagaimana pun besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan upacara kematian tersebut, memaksa orang tetap berusaha agar dapat melaksanakan maksudnya. Pelaksanaan upacara kematian melibat banyak orang dalam masyarakat dan mempunyai jaringan kegiatan yang cukup luas. Jadi jelaslah bahwa upacara kematian mempunyai fungsi dan peranan tersendiri dalam masyarakat dayak.

Apabila kebudayaan dilihat sebagai seperangkat model-model pengetahuan yang secara selektif digunakan oleh para pendukungnya, terutama sebagai makhluk sosial untuk menginterpretaikan dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan digunakan sebagai referensi dan pedoman untuk bertindak (Suparlan, 1988), maka wujud budaya spiritual para penganutnya yang secara bergenerasi telah mereka pedomani dan fungsikan, ternyata tidak hanya untuk mempertahankan keberadaan mereka, tetapi juga untuk dapat berubah dan berkembang. Dengan demikian, hubungan fungsional antara budaya spiritual para penganut (yang mungkin dianggap telah “klasik”) dengan tuntutan pembangunan (yang “modern” dan penuh dinamika), dapat dengan mudah mengalami perkembangan.

Demikian pula yang terjadi pada masyarakat dayak yang sekarang telah berpikir dan bertindak secara praktis. Upacara kematian yang mereka selenggarakan baik itu upacara tiwah, maupun upacara marabia atau ijambe, serta mabatur misalnya, sebagai upacara pengantar roh ke dunia arwah, tidak harus diselenggarakan secara individual melainkan demi efisiensi beaya diselenggarakan secara masal dengan beaya ditanggung secara bersama. Bahkan upacara ini dapat saja dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah event wisata yang laku keras di kalangan turis asing yang haus akan informasi budaya. Tetapi fungsi upacara kematian tersebut nampaknya tetap terjaga dan tak tergoyahkan oleh berbagai perubahan.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa fungsi dan peranan sosial dari upacara kematian adalah menjaga keteraturan dalam masyarakat. Sebab upacara kematian dilakukan berkenaan dengan pedoman-pedoman dalam kebudayaan, sedangkan fungsi kebudayaan adalah sebagai pegangan bagi mewujudkan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Jadi untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat akan berlaku dan bertindak sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam kebudayaannya.

Dari pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan upacara tiwah tidak saja dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang berlaku tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya dari upacara tersebut, agaknya orang lebih menekankan pada aspek sosialnya dari pada aspek kepercayaan yang menjadi sumber dari upacara kematian tersebut. Misalnya pandangan semakin banyak kerbau yang dikorbankan dan semakin lama upacara berlangsung, akan semakin menambah kebanggaan dari penyelenggara dan nama keluarga tersebut akan menjadi buah bibir di mana-mana. Upacara tiwah memakan biaya yang besar, sehingga dilihat dari dimensi ini nampaknya upacara ini semacam pemborosan, apalagi jika dilakukan secara menyolok untuk menunjukkan kemampuan pihak pelaksana. Bagi keluarga yang kurang atau tidak mampu, keinginan untuk melaksanakan upacara tiwah sebagai cambuk bagi mereka untuk bekerja lebih keras agar mendapatkan dana demi tercapainya keinginan tersebut.

Pada masa sekarang ini pesta tiwah selain diselenggarakan oleh keluarga secara sendiri-sendiri, dapat pula dilakukan bersama-sama oleh sekelompok keluarga atau bahkan oleh satu desa. Mereka bersama-sama mengumpulkan dana kemudian menyelengarakan upacara tiwah. Kadang-kadang terjadi pula pihak yang satu hanya membatu pihak yang lain, dan dikemudian hari tentunya pihak yang pernah dibantu akan membalas bantuan tersebut. Dari sini kita melihat bahwa masyarakat dapat menjalin kerjasama yang baik untuk mencapai tujuan masing-masing, yang berkaitan dengan kebudayaannya.

Biasanya upacara tiwah berlangsung setelah musim panen padi, hal ini mengingat bahwa setelah panen orang-orang memiliki bahan pangan yang cukup. Jadi dengan adanya bahan pangan yang cukup serta waktu luang sementara menunggu musim membuka hutan berikutnya, orang-orang merasa lebih tenteram menghadipi hidupnya sehingga dapat melakukan kegiatan lain di luar pekerjaan rutin di ladang. Melihat keadaan yang demikian dapatlah kita pahami mengapa keterlibatan masyarakat cukup besar pada saat pesta tiwah dilangsungkan. Bagi pengunjung pasti akan memberikan kesempatan mendapat kenalan baru atau bertemu dengan kenalan lama, bagi muda-mudi dapat saling mengenal, dan bagi keluarga, tiwah dapat dijadikan sarana mempererat hubungan kekeluargaan, karena seluruh sanak saudara di mana pun berada pasti hadir dalam upacara tiwah sebagai upacara pelepasan roh leluhurnya. Pelepasan jiwa dari raga yang kemudian di antarkan menuju ke dunia lain melalui upacara tiwah inilah merupakan saat-saat yang sakral bagi masyrakat dayak yang masih hidup di dunia.

Dengan demikian, sebagai suatu keseluruhan, upacara kematian ini mempunyai kedudukan sebagai perantara, simbolik, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan bagi keduanya (yaitu upacara dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan. Kesanggupan dari upacara untuk bertindak dan berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan tingkat-tingkat tertentu yang ada dalam kenyataan-kenyataan sosial menjadi tingkat yang lebih tinggi sehingga membuat manusia menjadi sadar dan mewujudkan adanya kebersamaan yang secara struktural dalam bentuk simbolik. Hubungan antara upacara dengan agama di satu pihak dengan organisasi sosial di lain pihak adalah merupakan hubungan yang langsung. Peranan simbol adalah untuk mewujudkan atau mengekspresikan hubungan-hubungan yang ada, dan bukannya untuk menghubungkan hubungan-hubungan ini dengan kehidupan manusia secara konseptual.

Mencermati proses pelaksanaan upacara kematian di berbagai etnis masyarakat dayak di pedalaman Kalimantan, dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalam riligi mayarakat dayak yang sifatnya individual, kecuali yang sifatnya magik seperti mencuci senjata misalnya. Hal tesebut sangat nyata disepanjang kegiatan upacara kematian berlangsung, semua dilakukan secara bersama baik dalam tingkat persiapan maupun pelaksanaan. Semua upacara kematian bahkan mungkin upacara yang berada disepanjang lingkaran hidup atau berkaitan dengan perladangan, tidak dipandang sebagai kegiatan perorangan tapi sebaliknya dipahami sebagai aktivitas bersama. Semua upacara dilakukan oleh dan untuk tujuan bersama. Orang-orang desa bahkan orang-orang dari uar desa setempat penyelenggara upacara banyak yang berdatangan mengunjungi upacara kematian walau pun tidak diundang. Rasa solidaritas yang dalam dan kuat, menjadikan upacara menjadi semarak. Jumlah pengunjung upacara yang terlibat dalam upacara termasuk banyaknya peserta upacara pasif dan tamu undangan, memberikan sifat dan status tertentu pada penyelenggara tiwah. Semakin banyak orang-orang yang hadir ikut upacara (pasif maupun aktif) menunjukan semakin tinggi pula kedudukan sosial masyarakat tersebut dan makin terhormat pula masyarakat desa penyelenggara tiwah tersebut. Demikian religi mengintensifkan kerja sama masyarakat dan kesalingtergantungan semua warga dalam suatu komunitas masyarakat. Kecenderungan upacara sebagai pembenaran atas keyakinan, terkonsepsikan untuk banyak orang, bukan untuk dilaksanakan perorangan.
 Masyarakat dayak di pedalaman kepulauan Kalimantan, memiliki pemahaman ketuhanan yang sangat kuat sebagaimana tercermin di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Keagamamaan mereka bukan dalam arti seperti agama besar, Islam, Kristen, atau budha dan bahkan Hindu, namun terbatas pada dunia lingkungan sukunya sendiri berhubungan dengan ikatan yang esensial terhadap nenek moyangnya. Penghormatan terhadap roh leluhur tersebut, oleh beberapa ilmuwan barat dijadikan pusat perhatian untuk menggunakan istilah agama dalam judul buku-buku hasil penelitiannya seperti Ngaju Religion, Dayak religion dll. Istilah tersebut memperlihatkan, bahwa imuwan-ilmuwan barat itu meghormati kepercayaan masyarakat dayak.

Konsep religi masyarakat dayak yang mendasarkan pada kaharingan jelas sekali berlandaskan pada konsep religi pada masa prasejarah yang sudah mulai muncul sejak akhir neolitik dan awal paleometalik. Penghormatan terhadap roh leluhur, terlihat dalam konsep kematian yang berdampak pada praktik-praktik penguburan primer dan sekunder yang sudah ada sejak zaman prasejarah. Kematian bukanlah tidur yang panjang tak berkesudahan, kematian juga bukan akhir dari kehidupan, melainkan justru awal dari suatu kehidupan yang baru. Artinya, setelah kematian, roh perlu kembali ke tempat asal dan hidup abadi di sana. Karena itu ketika mereka masih hidup di dunia, mereka harus berbuat baik sesuai dengan ajaran-ajaran yang dituturkan oleh nenek moyangnya.

Dalam banyak religi di dunia, upacara kematian menempati tempat utama dan paling esensial dalam perjalanan kehidupan manusia. Paling tidak terdapat dua makna dalam upacara ini bagi masyarakat dayak. Makna pertama, adalah untuk mensucikan arwah sekaligus mengantarkannya ke dunia akhirat. Di balik kesakralan upacara ini nampak ada semacam kewajiban moral dan sosial untuk melaksanakan upacara. Kewajiban secara moral dilatar belakangi oleh keyakinan bahwa orang yang meninggal jika belum menjalani upacara tidak dapat memasuki dunia arwah yang serba abadi, Kepercayaan inilah yang secara psikologis sangat mengganggu pikiran bagi mereka yang belum melakukan upacara baik upacara tiwah (Dayak Ngaju) maupun upacara Mabatur (Dayak Lawangan) maupun upacara . (Dayak Ma’anyan) dan sebagian besar masyarakat dayak lainnya.

Makna kedua dari upacara kematian adalah makna sosial itu sendiri. Artinya peranan upacara adalah untuk mempersatukan sistem kebudayaan dan sistem konsepsi dengan menempatkannya pada hubungan-hubungan formatif dan reflektif antara satu dengan yang lainnya dalam suatu cara sebagaimana masing-masing itu dihubungkan dengan asal mula simboliknya dan asal mula ekspresinya. Penyelenggaraan upacara kematian ini, tidak saja dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang berlaku tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Upacara kematian merupakan arena sosial di mana orang memiliki kesempatan untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi. Upacara kematian mampu mempertemukan berbagai kepentingan yang berasal dari berbagai golongan dan lapisan sosial yang berbeda, bahkan menjalin hububungan yang harmonis antar etnik. Dengan demikian secara ringkas makna sosial dari upacara kematian ini adalah menjaga keteraturan dalam masyarakat.

Namun demikian dalam perkembangan selanjutnya upacara ritual ini memaksa penyesuaian dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Masyarakat Dayak Ngaju atau Dayak Lawangan misalnya, sekarang telah berpikir dan bertindak secara praktis. Upacara kematian tidak harus diselenggarakan secara individual melainkan demi efisiensi diselenggarakan secara masal dengan beaya ditanggung secara bersama. Bahkan upacara tiwah dapat saja dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah event wisata yang laku keras di kalangan turis. Tetapi fungsi upacara kematian tersebut nampaknya tetap terjaga dan tak tergoyahkan oleh berbagai perubahan. Pengemasan upacara dalam bentuk sajian yang dijual kepada wisatawan local maupun asing inilah yang sekarang sedang dikembangkan oleh pemerintah daerah dalam memajukan daerahnya.

Guna kepentingan studi arkeologi, kehidupan tradisional sehari-hari sosial-budaya masyarakat dayak ini sangat penting. Khususnya bagi studi etnoarkeologi yang bertujuan membongkar berbagai aspek kebudayaan masa lampu melalui analogi kehidupan masyarakat sekarang. Penelitian yang serius terhadap “dunia” masyarakat dayak akan mampu menambah cakarawala baru tentang misteri kehidupan masyarakat prasejarah di Indonesia pada umumnya, di Kalimantan pada khususnya. Melalui penelitian etnoarkeologi, berbagai fenomena masa lalu yang tidak sanggup dipahami melalui data arkeologi, pada akhirnya dapat terbongkar melalui data etnografi berupa kehidupan sosial sehari-hari masyarakat dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan. Kehidupan religi masyarakat dayak dengan upacara kematian, dapat dipergunakan sebagai jendela untuk melihat perilaku masyarakat masa lampau tentang sistem penguburan mayat atau keyakinan hidup sesudah mati yang tidak dapat diamati oleh data arkeologi.







MATA PENCAHARIAN SUKU DAYAK KALIMANTAN TIMUR

            Kalimantan memiliki landasan tanah yang terdiri dari karang padas, dan lapisan tanah humus yang tipis, sedang daratannya berupa hutan. Dengan penduduk yang tidak begitu padat.           

Berladang menjadi salah satu pilihan mata pencaharian masyarakat suku Dayak. Pekerjaan ini membutuhkan banyak tenaga. Sehingga pengerjaannya dilakukan oleh kelompok yang biasanya berdasarkan hubungan tetangga atau kekerabatan. Jadi bisa dibilang sistim mata pencaharian ini berhubungan juga dengan kehidupan sosial diantara anggota suku. Dalam berladang, diperhatikan pula tanda-tanda alam alam, yang salah satunya dengan cara memperhatikan hewan liar. Perhatian terhadap tanda-tanda alam ini salah satunya adalah terkait dengan waktu yang tepat untuk membuka lahan, atau mengolahnya, disesuaikan dengan musim yang menentukan curah hujan.

Tanaman yang ditanam rupanya sesuai dengan kebutuhan. Diantaranya adalah padi enam bulanan, padi empat bulanan, dan padi ketan yang merupakan kebutuhan dalam upacara adat. Salah satu upacara adat yang dilakukan adalah pada saat buka lahan. Tujuannya untuk menambah kesuburan tanah, menolak hama, dan mengusahakan hasil bumi yang berlimpah. Selain itu ditanam juga ubi kayu yang bukan hanya dikonsumsi ubinya, tapi juga daunnya untuk lauk pauk. Satu lagi yang sangat penting adalah pohon pinang, karena masyarakatnya baik perempuan maupun laki-laki gemar makan sirih dan pinang. Setelah tanah lahan tidak lagi baik, lahan ditinggalkan dengan menanam pohon karet untuk diambil manfaatnya kelak.

Selain berladang, terutama pada saat menunggu waktu membuka lahan, suku Dayak melakukan pekerjaan lain. Diantaranya adalah berburu, mencari hasil hutan, dan mencari ikan di sungai. Hasil pekerjaan yang dikenal masyarakat luar suku adalah barang-barang hasil anyaman.





Konsep Kepemimpinan Suku Dayak Khususnya di Daerah Kalimantan TengaH
Suku Dayak amat taat dan setia kepada pemimpin yang telah mereka akui sendiri. Di lain pihak, untuk mendapatkan pengakuan dari penduduk, seorang pemimpin harus benar-benar mampu mengayomi dan mengenal masyarakatnya dengan baik. Pemimpin suku Dayak, bukan seorang yang hanya memberi perintah atau menerima pelayanan lebih, dari masyarakat, namun justru sebaliknya. Pemimpin yang disegani ialah pemimpin yang mampu dekat dan memahami masyarakatnya antara lain : bersikap

• Mamut Menteng, maksudnya gagah perkasa dalam sikap dan perbuatan. Ia disegani bukan dari apa yang ia katakan, namun dari apa yang telah ia lakukan. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dalam sikap dan perbuatan selalu adil. Apa yang diucapkan benar dan berguna. Nama baik bahkan jiwa raga dipertaruhkan demi keberpihakannya kepada warganya. Sikap mamut menteng yang dilengkapi dengan tekad isen mulang atau pantang menyerah telah mendarah daging dalam kehidupan orang Dayak. Tidak dapat dipungkiri kenyataan itu sebagai akibat kedekatan manusia Dayak dengan alam. Bagi mereka tanah adalah ibu, langit adalah ayah dan angin adalah nafas kehidupan. Dengan demikian Kemanapun pergi, dimanapun berada, bila kaki telah berpijak dibumi takut dan gentar tak akan pernah mereka miliki. Salah satu contoh sikap mamut menteng dan keberpihakan para pemimpin Dayak kepada warga sukunya jelas terlihat dalam kisah perempuan pejuang Dayak. Namanya Nyai Undang. Merasa harga diri dilecehkan oleh sikap sewenang-wenang lelaki kaya raya yang berasal dari seberang, ia mampu mengkoordinir kekuatan para pangkalima atau panglima suku yang tersohor kemampuannya. Bukan saja mengkoordinir, tetapi ia juga mampu mengontak dan melobi mereka dalam waktu yang sangat singkat. Dalam sekejap, para pangkalima yang diundang datang dan berkumpul di pulau Kupang. Sarana komunikasi yang digunakan adalah Lunjo Buno atau Ranying Pandereh Bunu atau Renteng Nanggalung Bulau yaitu tombak yang diberi kapur sirih pada mata tombak. Lunju Bunu adalah totok bakakak. Totok bakakak berarti sandi atau kode atau bahasa isyarat yang umum dimengerti masyarakat suku Dayak. Dalam bahasa isyarat apabila mengirimkan lunjo buno berarti minta bantuan karena akan ada serangan. Tombak bunu tersebut dikirimkan ke segala penjuru untuk mengundang para pangkalima untuk segera hadir ditempatnya. Sesungguhnya Nyai Undang telah memiliki kekasih hati. Namun akibat kecantikannya yang sangat tersohor, ia dilamar lengkap dengan emas kimpoi yang memukau, oleh seorang lelaki kaya raya. Lamaran tersebut juga diiringi ancaman bahwa apabila ditolak maka peperangan tidak dapat dihindarkan. Singkat kata, pertempuranpun meletus di Pulau Kupang, kota Pamatang Sawang yang terletak di wilayah Kalimatan Tengah sekarang ( Disini kota artinya benteng pertahanan yang terbuat dari kayu tabalien/kayu ulin/kayu besi atau dapat pula terbuat dari batu ). Pasukan Nyai Undang yang didukung oleh para pangkalima handal berhasil memenangkan pertempuran. Demi keberpihakan kepada warga sukunya, para pemimpin dan pangkalima perang dengan tulus dan ihklas siap bergabung untuk bersama maju perang menanggapi ajakan seorang warga suku yang merasa dilecehkan. Pemimpin yang berjiwa mamut menteng siap serahkan jiwa raga demi mengayomi dan keberpihakan kepada warga masyarakatnya. Mereka tidak takut ditertawakan, tidak takut pula akan adanya penghianatan, karena pada dirinyapun tidak terbersit sedikitpun niat untuk berkhianat pada warganya. Segalanya dilakukan dengan tulus dan kesungguhan sehingga kelecakan atau kesombongan rontok berkeping-keping.

• Harati berarti pandai. Disamping pandai ia juga seorang yang cerdik dalam arti positif. Kecerdikannya mampu menjadikan dirinya sebagai seorang pemberi inspirasi bahkan sebagai seorang the greatest inspirator bagi warganya. Kemampuan dalam berkomunikasi dengan warganya, keakraban yang tidak dibuat-buat, menjadikan seorang pemimpin suku Dayak memiliki kepekaan yang tajam. Peka maksudnya sebelum peristiwa terjadi, ia telah terlebih dahulu menditeksi segala kemungkinan yang bakal terjadi dilingkungannya. Mampu membedakan mana yang benar, mana yang salah. Sebagai contoh, seorang pemimpin Dayak dalam kesibukannya selalu berusaha meluangkan waktu maja atau mengunjungi rumah warganya dengan keakraban yang tidak dibuat-buat. Maksudnya mereka tidak bersikap sok akrab untuk mendapatkan dukungan, tetapi maja atau berkunjung tersebut dilakukan karena memang mereka senang melakukannya. Terkadang tanpa diduga kunjungan mendadak tersebut dibarengi permintaan makan kepada keluarga tersebut. Sikap demikian tentu saja mengagetkan pemilik rumah namun meninggalkan kenangan indah kepada keluarga yang dikunjungi.

• Bakena berarti tampan/cantik, menarik, dan bijaksana. Lebih luas maksudnnya Inner beauty yaitu ketampanan/kecantikan yang terpancar dari dalam jiwa. Cahaya matanya memancarkan keadilan, perlindungan, rasa aman dan bakti. Dimanapun berada, ia akan selalu disenangi dan disegani. Semua ini secara otomatis akan muncul apabila segala tugas dan tanggung jawab dilaksanakan dengan ihklas tanpa pamrih.

• Bahadat maksudnya beradat. Bukan hanya mengerti dan memahami hukum adat dan hukum pali dengan baik, namun nyata terlihat dalam tindakan sehari-hari. Ranying Hatalla atau Allah Yang Maha Kuasa turut serta mengawasi setiap tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin, sehingga kendali diri pegang peranan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Berani berlaku tidak adil konsekwensinya hukuman akhirat akan diterima setelah kematian terjadi.

• Bakaji maksudnya berilmu tinggi dalam bidang spiritual. Ia selalu berusaha untuk mencapai hening, serta membersihkan dan menyucikan jiwa, raga dengan rutin dan berkala. Saat hening adalah saat yang paling tepat untuk berdialog dengan diri sendiri, menata sikap untuk tetap kokoh berpegang pada tujuan agar tidak mudah terombang ambing. Kokoh kilau sanaman yang artinya sekokoh besi.

· Barendeng berarti mampu mendengarkan informasi juga keluhan warganya. Telinganya selalu terbuka bagi siapapun. Hal ini bukan berarti bahwa pemimpin suku Dayak hanya menghabiskan waktunya dengan menerima kunjungan warga untuk berkeluh kesah dan bersilaturahmi dengannya. Tanpa bertemu langsung dengan orang perorang, pemimpin Dayak mengetahui banyak situasi dan kondisi setiap keluarga. Ia telah menyediakan hati dan telinganya untuk menampung dan mendengarkan lalu mengolahnya menjadi bagian dari tugas dan tanggung jawabnya. Salah satu contoh dalam kehidupan sehari-hari dapat disaksikan dalam tradisi mihup baram atau minum tuak, babusau atau mabuk atau minum minuman yang mengandung alcohol hingga mabuk. Sekalipun dalam keadaan mabuk, pemimpin Dayak selalu berusaha mengendalikan kesadarannya sehingga dengan sarana mihup baram sampai babusau atau minum baram hingga mabuk, seorang pemimpin mampu menangkap dan merekam luka, kekecewaan, dan kemarahan terpendam warganya. Hal ini terjadi dimasa lalu. zaman telah berganti. Tradisi babusau sebagai sarana merekam isi hati warga masyarakat sudah seharusnya ditinggalkan karena terlalu besar resikonya. Apa yang tertulis disini hanya sebagai kisah masa lalu.
Kesenian Suku Dayak


1.         Seni Tari Dayak
 Dalam seni tari Dayak, dikenal beragam tari Dayak dengan gerakan yang eksotik dan memukau. Lewat gerakan para penari Dayak yang biasanya diiringi dengan tetabuhan yang khas, unsur ritmis yang berpadu serasi menjadi sebuah seni penuh makna. Jenis-jenis tari Dayak yang cukup sering ditampilkan di depan umum,di antaranya:
a.       Tari Gantar.
 Tarian ini menggambarkan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian di dalamnya menggambarkan benih pada dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya. Tarian ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.


b.      Tari Kancet Papatai/Tari Perang

 Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penarinya. Dalam tarian ini, penari mempergunakan pakaian tradisional suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tarian ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
c.       Tari Serumpai

 Ini merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq yang dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian ini diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
d.      Tarian Belian Bawo

 Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tarian ini sering disajikan pada acara-acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq.
e.       Tari Kuyang

 Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon besar dan tinggi agar tidak menggangu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
f.       Tarian Pecuk Kina

 Trian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
g.      Tarian Datun

 Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
h.      Tarian Baraga’Bagantar

 Awalnya Baraga’Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benua.


2.      Seni  Musik Dayak

 Seni musik memegang peranan penting dalam hidup keseharian SukuDayak, terlebih dimasa dahulu. Pewarisan budaya yang lebih dikenal denganistilah Tetek Tanum, terkadang menggunakan kecapi sebagai sarana. TetekTanum adalah cara bercerita dengan kalimat berirama tentang asal usulnenek moyang, sejarah masa lalu suku, tentang kepahlawanan padagenerasi penerus.Dalam setiap upacara adat, pesta pernikahan, acara kematian, suara musikdalam bentuk Gandang Garantung. Musik Gandang Garantung adalahgabungan dari suara beberapa alat musik yaitu buah gandang atau kendang yang dimainkan oleh satu orang. Garantung atau gong berjumlah lima buah,tiga gong dimainkan oleh seorang dan dua lainnya dimainkan oleh orang yang berbeda.Pada umunya Suku Dayak gemar melantunkan ungkapan hati danperasaan , kisah-kisah kehidupan dan kepahlawanan sukunya dengan kalimat berirama. Ekspresi kalimat yang dilantunkan dengan irama laguberbeda, misaknya Sansana Kayau  memiliki irama lagu tertentu, begitu pula Mohing Asang, Ngendau dan sebagainya. Namun dari awal hingga akhir irama tersebut monoton dan diiringimusik kecapi. Nyaris dalam setiap upacara adat dilengkapi dengan tradisi tersebut.
a.      Mansana Kayau
 Mansana Kayau ialah kisah kepahlawanan yang dilagukan. Biasanya dinyanyikan bersaut-sautan dua sampai empat orang, baik perempuanataupun laki-laki.
b.      Mansana Kayau Pulang
 Mansana Kayau pulang ialah kisah yang dinyanyikan pada waktu malamsebelum tidur oleh para orang tua kepada anak dan cucunya denganmaksud membakar semangat anak turunannya untuk membalas dendamkepada Tambun Bupati yang telah membunuh nenek moyang mereka.
c.       Karungut
 Karungut ialah sejenis pantun yang dilagukan. Dalam berbagai acarakarungut sering dilatunkan, misalnya pada acara penyambutan tamu yangdihormati. Salah satu ekspresi kegembiraan dan rasa bahagia diungkapkandalam bentuk karungut. Terkadang ditemukan perulangan kata pada akhirkalimat namun terkadang juga tidak. Untuk mengamati cara tutur orangDayak dalam mengekspresikan perasaan mereka, maka terjemahan dalamBahasa Indonesia dibuat dalam sebagaimana adanya kata per kata.
d.      Karunya
 Karunya ialah nyanyian yang diiringi suara musik sebagai pemujaankepada Ranying Hatala.Dapat juga diadakan pada saat upacarapengangkatan seorang pemimpin mereka atau untuk menyambutkedatangan tamu yang sangat dihormati.
e.       Baratabe
 Baratabe ialah nyanyian untuk menyambut kedatangan pada tamu.
f.       Salengot
 Salengot ialah pantun berirama yang biasa diadakan pada pestapernikahan, namun dalam upacara kematian Salengot terlarang oleh adatuntuk dilaksanakan. Salengot khusus dilakukan oleh laki-laki dalammenceritakan riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelaitersebut.

 Alat musik yang biasa terdapat di dalam kebudayaan Suku Dayak adalahsebagai berikut :
1.      Garantung
 Garantung adalah gong yang terdiri dari 5 atau 7 buah, terbuat daritembaga.
2.      Sarun
 Sarun ialah alat musik pukul yang terbuat dari besi atau logam. Bunyi yang dihasilkan hanya lima nada.
3.      Salung
 Salung sama dengan Sarun, tetapi Salung terbuat dari bambu.
4.      Gandang Mara
 Gandang Mara ialah alat musik perkusi sejenis gendang dengan ukuransetengah sampai tiga per empat meter. Bentuki silinder yang tewrbuatdari kayu dan pada ujung permukaan di tutup kulit rusa yang telah dikeringkan. Kemudian di ikat rotan agar kencang dan lebih kencang lagi di beri pasak.         

               
3.      Rumah Adat Suku Dayak

Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).
·          Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai panjang 150 meter dan lebar hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim penghujan yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan. Beberapa unit pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga (keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan tempat pemukiman penduduk.
·          Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan. Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.
4.      Tradisi Penguburan


Tradisi penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di Kalimantan :
penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
penguburan di dalam peti batu (dolmen)
·         penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
·         Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
·         wadah (peti) mayat bukan peti mati : lungun selokng dan kotak
·         wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
·         berdasarkan tempat peletakan wadah (kuburan) Suku Dayak Benuaq :
·         1.      lubekng (tempat lungun)
·         2.      garai (tempat lungun, selokng)
·         3.      gur (lungun)
·         4.      tempelaaq dan kererekng

·         Pada umumnya terdapat dua tahapan penguburan:
·         penguburan tahap pertama (primer)
·         penguburan tahap kedua (sekunder).
·         Penguburan primer
·         Parepm Api (Dayak Benuaq)
·         Kenyauw (Dayak Benuaq)
·         Penguburan sekunder
·         Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
·         Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara penguburan, yakni :
·         dikubur dalam tanah
·         diletakkan di pohon besar
·         dikremasi dalam upacara tiwah.
·         Prosesi penguburan sekunder
·         Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
·         Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
·         Marabia
·         Mambatur (Dayak Maanyan)
·         Kwangkai /Wara (Dayak Benuaq)

5.   Upacara Adat Dayak

1.      Upacara Manyanggar adalah sebuah acara adat yang tujuannya doa keselamatan bagi pelaksanaan suatu pekerjaan. Dalam acara ini juga ada acara pengusiran terhadap roh jahat yang berpotensi mengganggu pekerjaan. Menyanggar bisa di artikan sebagai ritual yang di laksanakan dengan tujuan agar terjadi kehidupan di alam nyata dengan kehidupan di alam gaib.
Ritual dipimpin seorang mantir adat dengan rapalan doa dalam bahasa Dayak Ngaju. Aneka bentuk dan jenis makanan tersaji dalam dua buah tempat yang secara adat disebut samburup.
Ada ayam kampung yang telah dimasak, telur dan ketan, darah ayam, kue cucur, ketupat, minuman beralkohol. Semuanya diletakkan di atas nampan yang digantung sebagai persembahan bagi roh-roh di sekitar lokasi proyek yang mulai dikerjakan. Upacara ini di lakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap alam kehidupan.




2.      Upacara Tiwah
Adalah upacara yang berhubungan dengan orang yg sudah meninggal,yaitu mengantarkan tulang belulang orang mati menuju rumah kecil yang sengaja di buat untuk meletakan tulang-tulang orang yang sudah meningggal.rumah  ini dinamakan sandung.
Upacara ini bernilai religi yang sangat tinggi,karna banyak doa yang di panjatkan.

           


3.      Upacara Nyobeng
Adalah upacara yang di laksanankan untuk orang meninggal juga,namun meninggalnya karna di penggal,jadi upacara nyobeng ini d laksanakan untuk membersihkan tengkorak kepala yang di penggal tersebut.
Tradisi upacara nyobeng (penggal kepala)
Ngayau merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, baik Dayak yang tinggal di Kalimantan Barat maupun Kalimantan lainnya. Suku Iban dan Suku Kenyah adalah dua dari suku Dayak yang memiliki adat Ngayau. Pada tradisi Ngayau yang sesungguhnya, Ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia dari pihak musuh. Citra yang paling populer tentang Kalimantan selama ini adalah yang berkaitan dengan berburu kepala (Ngayau). Karya Bock, The Head Hunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1881 banyak menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai “orang-orang pemburu kepala”.

Bagi suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, tradisi mengayau untuk kepentingan upacara Tiwah, yaitu upacara sakral terbesar suku Dayak Ngaju untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh (Riwut, 2003 : 203).

Menurut Lebar (1972 : 171), dikalangan masyarakat Kenyah, perburuan kepala penting dalam hubungannya dengan Mamat, yaitu pesta pemotongan kepala, yang mengakhiri masa perkabungan dan menyertai upacara inisiasi untuk memasuki sistem status bertingkat, Suhan, untuk para prajurit perang.

Pemburu-pemburu kepala yang berhasil berhak memakai gigi macan kumbang di telinganya, hiasan kepala dari bulu burung enggang, dan sebuah tato dengan desain khusus..Serangan-serangan para pemburu kepala dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh hingga dua puluh orang laki-laki yang bergerak secara diam-diam dan tiba-tiba. Mereka sangat memperhatikan pertanda-pertanda, khususnya burung-burung. Setelah digunakan dalam upacara-upacara Mamad, kepala-kepala itu digantung di beranda rumah panjang, berhadapan dengan ruang-ruang tengah yang menjadi tempat tinggal ketua rumah panjang

Di masa lalu Suku Dayak Kenyah dilaporkan sebagai pemburu kepala yang paling terkenal di Kalimantan. Seperti halnya suku Dayak Kenyah, suku Dayak Iban juga melakukan upacara perburuan kepala yang disebut Gawai. Upacara ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga melibatkan pesta besar-besaran dengan minum-minuman dan bersenang-senang (Lebar, 1972 : 184).

Miller yang seorang penjelajah, misalnya menulis dalam Black Borneo-nya (1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan diperlukan sebuah tengkorak yang baru.

Sementara itu Mc Kinley menggambarkan ritual perburuan kepala itu sebagai sebuah proses transisi, dalam mana orang-orang yang dulunya adalah musuh menjadi sahabat dengan cara memadukan mereka ke dalam dunia keseharian.

Mungkin ada sebuah pertanyaan, dalam tradisi Ngayau tersebut mengapa harus kepala dan bukan bagian-bagian tubuh yang lain yang diambil. Mc Kinley berpendapat (1976 : 124), kepala dipilih sebagai simbol yang pas untuk ritual-ritual ini karena kepala mengandung unsur wajah, yang dengan cara serupa dengan nilai sosial tentang nama-nama personal, merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri sosial (social personhood). Jati diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut paling manusiawi milik si musuh dan karenanya menjadi atribut yang harus diklaim oleh komunitas orang itu sendiri.

Tidak semua suku Dayak di Kalimantan menerapkan Tradisi Ngayau. Seperti halnya Suku Dayak Maanyan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat mereka tidak ada istilah Ngayau, namun berdasarkan cerita para tetuha adat mereka, ketika terjadi perang waktu dulu para ksatria-ksatria Dayak Maanyan dan Dayak Meratus pada saat berperang kepala pimpinan musuh yang dijadikan target sasaran mereka. Apabila kepala pimpinannya berhasil mereka penggal, maka para prajuritnya akan segera bertekuk lutut. Kepala pimpinan musuh tersebut bukan sebagai pelengkap ritual-ritual adat sebagaimana yang dilakukan suku Dayak Kenyah, Iban dan Ngaju, kepala tersebut tetap dikuburkan bersama badannya. Meskipun suku Dayak Meratus dan Maanyan tidak menerapkan tradisi Ngayau dalam adat mereka, namun mereka tetap berpendapat bahwa kepala manusia memiliki arti penting yaitu kepala bagian yang paling atas (tinggi) di tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang.

Salah satu pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan komunitas Dayak adalah semasa pemerintahan kolonial Belanda berlangsung yaitu ketika pada tahun 1874 Damang Batu (Kepala Suku Dayak Kahayan) mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan Musyawarah Damai Tumbang Anoi. Musyawarah tersebut dikenal dengan Perjanjian Tumbang Anoi. Dalam musyawarah yang konon berlangsung berbulan-bulan lamanya itu, masyarakat Dayak di seluruh Kalimantan mencapai kesepakatan untuk menghindari dan menghilangkan tradisi mengayau. Karena dianggap telah menimbulkan perselisihan di antara suku Dayak. Akhirnya, dalam musyawarah tersebut segala perselisihan dikubur dan pelakunya didenda sesuai dengan hukum adat Dayak.

Meskipun hingga kini tidak ada satupun analisis yang dapat menjelaskan secara pasti dan tepat makna yang tersembunyi dari tradisi Ngayau tersebut karena ritual ini sedemikian kompleks dan sedemikian misteriusnya, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tradisi Ngayau sangat penting bagi penggambaran citra kelompok Dayak yang merupakan salah satu simbol suatu identitas kesukuan. Pemotongan kepala/ngayau kembali muncul ketika terjadi kerusuhan antar-etnis melanda Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah beberapa tahun yang lalu



Sistem Politik Suku Dayak

 Pemerintahan desa secara formal berada di tangan pembekal dan penghulu. Pembekal bertindak sebagai pemimpin administrasi. Penghulu sebagai kepala adat dalam desa. Kedudukan pembekal dan penghulu sangat terpandang di desa, dahulu jabatan itu dirangkap oleh patih. Ada pula penasihat penghulu disebut mantir. Menurut A.B. Hudson hukum pidana RI telah berlaku pada masyarakat Dayak untuk mendampingi hukum adat yang ada.

  Sistem Ekonomi Suku Dayak

 Bercocok tanam di ladang adalah mata pencaharian masyarakat Dayak. Selain bertanam padi mereka menanam ubi kayu, nanas, pisang, cabai, dan buah-buahan. Adapun yang banyak ditanam di ladang ialah durian dan pinang. Selain bercocok tanam mereka juga berburu rusa untuk makanan sehari-hari. Alat yang digunakan meliputi dondang, lonjo (tombak), dan ambang (parang). Masyarakat Dayak terkenal dengan seni menganyam kulit, rotan, tikar, topi, yang dijual ke Kuala Kapuas, Banjarmasin, dan Sampi.

Sistem Kekerabatan Suku Dayak

Bilateral/ambilineal, yaitu menarik garis keturunan dari pihak ayah dan ibu. Sehingga sistem pewarisan tidak membedakan anak laki-laki dan anak perempuan.
Bentuk Kehidupan Keluarga :
1.         Keluarga batih (nuclear family), wali/asbah (mewakili keluarga dalam kegiatan sosial dan politik di lingkungan dan di luar keluarga) adalah anak laki-laki tertua,
2.         Keluarga luas (extended family), wali/asbah adalah saudara laki-laki ibu dan saudara laki-laki ayah.
Peran wali/asbah, misalnya dalam hal pernikahan, orang yang paling sibuk mengurus masalah pernikahan sejak awal sampai akhir acara. Oleh karena itu, semua permasalahan dan keputusan keluarga harus dikonsultasikan dengan wali/asbah. Penunjukan wali/asbah berdasarkan kesepakatan keluarga.
Perkawinan Yang Boleh Dilakukan Dalam Keluarga Paling Dekat :
1.         Antara saudara sepupu dua kali. Perkawinan antara gadis dan bujang bersaudara sepupu derajat kedua (hajenan), yaitu sepupu dan kakek yang bersaudara.
2.         Sistem endogami (perkawinan yang ideal), yaitu perkawinan dengan sesama suku dan masih ada hubungan keluarga.
Perkawinan Yang Dilarang :
1.         Incest / Salahoroi, anak dengan orangtua
2.         Patri parallel – cousin, perkawinan antara dua sepupu yang ayah-ayahnya bersaudara sekandung
3.         Perkawinan antara generasi-generasi yang berbeda (contoh : tante + ponakan)
Pola Kehidupan Setelah Menikah :
1.         Pola matrilokal, suami mengikuti pihak keluarga istri,
2.         Pola neolokal, terpisah dari keluarga kedua belah pihak. Ketika Huma Betang (longhouse) masih dipertahankan, keluarga baru harus menambah bilik pada sisi kanan atau sisi kiri huma betang sebagai tempat tinggal mereka.

Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn menggunakan sistem bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai hubungan kekerabatan, seorang anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu. Hubungan kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan kekerabatan ini penting karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama pada perkara perkawinan. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak merusak keturunan.

Proses Pernikahan

Prosesi tradisi pernikahan Dayak Ngaju dilangsungkan dengan berbagai tahap. Perkawinan adat ini disebut Penganten Mandai. Dalam iring-iringan, seorang ibu yang dituakan dalam keluarga calon mempelai pria, membawa bokor berisi barang hantaran. Sedangkan pihak keluarga calon mempelai wanita menyambutnya di balik pagar. Sebelum memasuki kediaman mempelai wanita. Masing-masing dari keluarga mempelai diwakilkan oleh tukang sambut yang menjelaskan maksud dan tujuannya datang dengan mengunakan bahasa Dayak Ngaju.
Namun sebelum diperbolehkan masuk, rombongan mempelai pria harus melawan penjaga untuk bisa menyingkirkan rintangan yang ada di pintu gerbang.
Kemudian setelah dinyatakan menang pihak pria, maka tali bisssa digunting kemudian di depan pintu rumah, calon mempelai pria harus menginjak telur dan menabur beras dengan uang logam. Yang maksud dan tujuannya supaya perjalanan mereka dalam berumah tangga aman, sejahtera dan sentosa.
Setelah duduk di dalam ruangan, terjadi dialog diantara kedua pihak. Masing-masing diwakilkan (Haluang Hapelek). Diatas tikar (amak badere), disuguhkan minuman anggur yang dimaksudkan supaya pembicaraan berjalan lancar dan keakraban terjalin di kedua belah pihak.
Sebelum dipertemukan dengan calon mempelai wanita, calon mempelai pria terlebih dulu menyerahkan barang jalan adat yang terdiri dari palaku (mas kawin), saput pakaian, sinjang entang, tutup uwan, balau singah pelek, lamiang turus pelek, buit lapik ruji dan panginan jandau.
Sesuai dengan adat yang berlaku, sebelum kedua mempelai sah secara adat, mereka harus menandatangani surat perjanjian nikah, yang disaksikan oleh orang tua kedua belah pihak. Dan bagi para hadirin yang menerima duit turus, dinyatakan telah menyaksikan perkawinan mereka berdua.
Sesuai dengan adat yang berlaku, sebelum kedua mempelai sah secara adat. Mereka harus menandatangani surat perjanjian nikah, yang disaksikan oleh orang tua kedua belah pihak. Dan bagi para hadirin yang menerima duit turus, dinyatakan telah menyaksikan perkawinan mereka berdua.
Sebelum acara berakhir, masing-masing keluarga memberikan doa restu kepada pengantin (tampung rawar). Dilanjutkan dengan hatata undus, saling meminyaki antara dua keluarga ini sebagai tanda sukacita, dengan menyatukan dua keluarga besar.
Sebuah hajatan yang bernilai tinggi. semoga tetap terjaga, dan lestari dan membudidaya adat istiadat serta kebudayaan asli bangsa Indonesia.

Adat Perkawinan Suku Dayak


Seorang gadis Dayak boleh menikah dengan pemuda suku bangsa lain asal pemuda itu bersedia dengan tunduk dengan adat Dayak. Pada dasarnya orang tua suku Dayak berperanan penting dalam memikirkan jodoh bagi anak mereka, tetapi cukup bijaksana dengan menanyakan terlebih dahulu pada anaknya apakah ia suka dijodohkan dengan calon yang mereka pilihkan. Kalau sudah ada kecocokan, ayah si pemuda datang meminang gadis itu dengan menyerahkan biaya lamaran yang disebut hakumbang Auh. Pada orang Dayak Ngaju umumnya mas kawin berbentuk uang atau perhiasan. Mas kawin di kalangan suku Dayak biasanya tinggi sekali, karena besarnya mas kawin dianggap sebagai martabat keluarga wanita.

Upacara perkawinan suku Dayak sepenuhnya ditanggung oleh keluarga pihak wanita. Untuk pelaksanaan upacara perkawinan dipotong beberapa ekor babi, sedangkan memotong ayam untuk hidangan dianggap hina. Pada upacara perkawinan pengantin pria biasanya menghadiahkan berbagai tanda kenangan berupa barang antik kepada abang mempelai wanita. Sebagai pernyataan terima kasih karena selama ini abang telah mengasuh calon istrinya. Tanda kenangan yang oleh orang Dayak Ot Danum disebut sapput itu berupa piring keramik Cina, gong antik, meriam kecil kuno, dan lain-lain.

1 komentar: