BUDAYA YANG TERSEMBUNYI DI INDONESIA (SUKU dayak kalimantan timur)
suku dayak merupakan suku asli dari
kalimantan yang hidup berkelompok dan tinggal di daerah pedalaman seperti
digunung dan sebagainya.kata dayak sebenarnya diberikan oleh orang mmelayu yang
datang ke kalimantan.semboyan orang dayak adalah “menteng ueh mamut” ,yang
artinya seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani , serta tidak mengenal
menyerah atau pantang mundur.
Pada
tahun 1977-1978 saat itu benua Asia dan pulau Kalimantan merupakan bagian
nusantara yang menyatu yang memungkinkan ras mongoloid dari asia mengembara
melalui daratan dan sampai di Kalimantan dengan melintasi pegunungan yang
sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”. Suku Dayak merupakan penduduk
Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang Melayu dari Sumatra dan
Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin mundur ke dalam.
Belum
lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar, Jawa pada masa kejayaan Kerajaan
Majapahit, suku Dayak hidup terpencar-pencar diseluruh wilayah Kalimantan dalam
rentang waktu yang lama,mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga
ke hilir kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan.Suku ini terdiri atas
beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku yang brebeda-beda.
uku Dayak pernah membangun sebuah
kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”,
yakni sebuah kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang
diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389 (Fridolin Ukur,1971). Kejadian
tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak dan terpencar, sebagian masuk daerah
pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasala
dari kerajaan Demak bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1608).
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam
dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya
sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak
agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah,
bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit,
Labuan Lawas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba.
Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian
Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah
Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa
lain juga berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang
ke Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf
kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi
masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah
hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak
mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung
karena langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar
di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan
bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen,
belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah
sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang
besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali
ke Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan,
Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang
Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut
membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah
seperti piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Dibawah ini ada beberapa adat istiadat
bagi suku dayak yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku
Dayak pada zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang.
Adat istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh
Bangsa Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman
Kalimantan
>< UPACARA TIWAH
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku
Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang
yang sudah meninggal ke sandung yang sudah dibuat. Sandung adalah tempat
semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal
dunia.
Upacar Tiwah bagi suku Dayak sangatlah
sakral, Pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang mati tersebut
diantarkan dan diletakan di tempatnya (Sandung), banyak sekali acara-acara
ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain, Sampai akhrinya tulang-tulang
itu diletakan pada temapatnya (sandung).
>< DUNIA SUPRANATURAL
Dunia Supranatural bagi suku Dayak memang
sudah sejak zaman dulu merupakan ciri khas Kebudayaan Dayak.Karena supranatural
ini pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia (
kanibal ). Namun pada kenyataannya suku Dayak adalah suku yang sangat Cinta
Damai asal mereka tidak diganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan
supranatural Dayak Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang.
Manajah Antang merupakan cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari
keberadaan musuh yang sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media
burung Antang, dimanapun musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok MeraH
Mangkok merah merupakan media persatuan
suku Dayak. Mangkok merah beredar jika Suku Dayak merasa kedaulatan mereka
dalam bahaya besar. “PANGLIMA” atau suku Dayak sering menyebutnya Pangkalima
biasanya mengeluarkan isyiarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang
diedarkan dari kampung ke kanpung secara cepar sekali. Dari penampilan
sehari-hari banyak orang tidak mengetahui siapa pangkalima suku Dayak itu.
Orangnya itu bisa-biasa saja, hanya saja ia memiliki kekuatan Supranatural yang
luar biasa.
Percaya atau tidak panglima itu mempunyai
ilmu bisa terbang kebal dari apa saja seperti peluru, senjata tajam dan
sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan
diedarkan. Sebelum diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk
mengetahui kapan waktu yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu
roh para leluhur akan merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima
tersebut ber “Tariu” ( memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan
menyatakan perang ) maka orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan
mempunyai kekuatan seperti panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa
sakit atau gila bila mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para
leluhur akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban
yang dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang
Dayak makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan
upacara adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan
bertambah. Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu
(ada yang mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar
segera dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya
seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada
yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk
terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti
dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat
berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan.
Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan
kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok
merah pertama beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi
ketika pengusiran orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967.
pengusiran Dayak terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi
lebih banyak muatan politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi
dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang
dipedalaman Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek ke
bapak, dari bapak ke anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan
menjadi lebih atau kurang dari yang sebenarnya, bahwa asal-usul nenek moyang
suku Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh dengan ” Palangka Bulau”.
>>> Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tanduk
yang suci, gandar yang suci dari emas turun ke langit yang sering disubut juga
” Ancang atau Kalangkang”.
Asal Usul Dayak dan Pengelompokannya - Orang
Dayak adalah penduduk asli (indigenous
people) pulau Kalimantan atau Borneo. Menurut asal- usulnya, mereka adalah imigran dari daratan Asia, yakni Yunan
di Cina Selatan. Kelompok imigran yang pertama kali masuk adalah kelompok ras
Negrid dan Weddid (Coomans,1987) yang kini tidak ada lagi, serta ras Australoid
(Mackinnon,1996). Selanjutnya adalah kelompok imigran Melayu yang datang
sekitar tahun 3000-1500SM. Kelompok imigran terakhir adalah kelompok yang masuk
sekitar tahun 500 SM (Coomans,1987),yaitu ras Mongologid (Coomans,1987;
sellato,1989; Rousseau1990).
Secara harafiah, kata “Dayak” berarti
orang yang berasal dari pedalaman atau gunung. Oleh karena itu, orang Dayak
berarti orang gunung atau orang pedalaman. Kata “Dayak” ini juga merupakan nama
kolektif bagi banyak kelompok suku di Pulau Kalimantan atau Borneo. Dalam suku
“Dayak” itu sendiri, terdapat kelompok-kelompok “Suku” yang sangat heterogen
dengan segala perbedaannya, seperti bahasa, corak seni, organisasi social dan
berbagai unsur budaya lainnya (Nieuwenhuis, 1990)
Masyarakat Dayak di pulau Kalimantan
terdiri dari kelompok-kelompok suku besar dan sub-sub suku kecil. Ada beberapa
pendapat yang mengatakan bahwa jumlah subsuku Dayak bekisar 300 sampai 450-an
(Duman,1924;Ukur,1992; Riwut,1993; sellato,1989; Rousseau,1990). Selain itu,
dalam kaitanya dengan klasifikasi suku-suku Dayak, juga dihadapkan dengan
beraneka ragam versi. Berdasarkan hukum adat, Mallinckrodt (Het Adatrecht vanv
Borneo,leiden:1928) mengklasifikasikan suku Dayak kedalam enam subsuku besar
yang disebutnya stammenras, yaitu (1)kenyah-kenyah-bahu;
(2)Ot danum; (3)Iban; (4)murut; (5)kleamantan; dan (6)punan.
Lain halnya dengan W.Stohr (“Das
Totenritual der Dajak”,dalam etnologia,Koln:1959) yang membagi suku Dayak ke
enam subsuku dengan dasar “totenritual”,yaitu (1)kenyah-kenyah-bahau, (2)Ot
danum (Ot danum,Ngaju,Ma’anyan,luangan); (3)Iban; (4)Murut (dusun,murut,
kalabit ; (5) klemantan (klemantan,Dayak Darat ); dan(6) punan. Sedangkan
Hudson(1967)membagi suku Dayak k dalam tiga kelompok besar atas dasar bahasa
(Ukur,dalam mubyarto,dkk.1991;31-32).
Sellato (1989) mengklasisikasikan suku
Dayak ke dalam delapan kelompok besar,yaitu (1)orang melayu; (2)orang iban ;
(3)kelompok baito(Ot-danum, siang, murung, luangan, ma’anyan, benuag, bentian,
dan tunjung); (4)kelompok Barat; (5)kelompok timur laut; (6)kelompok Kenyan dan
kenyah yang tinggal di Kalimantan timur dan pedalaman serawak; (7)kelompok
utara tengah yang mendiami bagian utara Kalimantan, seperti orang kelabit,lun
Dayeh,lun bawang dan murut bukit, orang kajang, Berawang,dan melanau di sebelah
barat Kalimantan. Dalam kelompok ini,hanya orang kelabit dan lun dayeh yang
bersawah; dan(8)suku penan (bekatan,punan,dan bukat)yang merupakan suku
pengembara di Kalimantan (Singarimbun,1996:262-264; Mac kinnon
dkk.,1996:356-363;sellato,1989). Klasifikasi sellato ini dibuat berdasarkan
alasan-alasan (1)aliran sungai; (2)geografis,etnografis, dan budaya material;
(3)bahasa yaitu bahasa austronesia, bahasa Filipina, bahasa melayu, bahasa di
sulawesi selatan, dan bahasa madagaskar; (4)cara dan tempat penguburan orang
meninggal; (5)struktur dan stratifikasi social;dan (6)mata pencahrian hidup,dan
lain-lain(sellato,1989:58-62).
Dalam teori antropologi dan hukum adat,
metode klasifikasi sebagai mana di sebutkan di atas, telah di lakukan oleh
beberapa ahli sejak lama. Misalnya,pertama-tama adalah van vollenhoven
(1918)yang menciptakan konsep “daerah hukum adat”(recbtskring). Menurutnya, di Indonesia
terdapat 19 daerah hukum adat, dan salah satunya adalah Kalimantan atau borneo.
Kemudian,franz Boas (1930)membuat konsep “culture area” .selanjutnya ,
J.steward (1955)yang menciptakan konsep “tipe sosio-kultural”yang diterapkan
dalam konteks indonesia oleh Clifford geertz (1963), Hildred Geesrtz (komunitas
budaya),dan Koentjaraningrat (1971). Akhirnya, Ave (1970) yang memperkenalkan
konsep klasifikasi masyarakat berdasarkan aspek produksi,yaitu (1)mata
pencaharian pokok; (2)mata pencaharian pelengkap; dan (3) peralatan dan
teknologi. Ketiganya disebut mode of production (Marzali,1997:141-147).
SISTEM KEPERCAYAAN SUKU
DAYAK KALIMANTAN TENGAH
Penduduk Dayak memiliki dasar kepercayaan
Kaharingan.Istilah Kaharingan diambil dari kata Danum Kaharingan yang berarti
air kehidupan.Orang Dayak percaya bahwa di dunia ini banyak terdapat roh-roh
halus. Mereka percaya akan : Sangiang (roh yangtinggal di tanah dan udara) ;
Timang (roh yang tinggal di batu keramat) ; Tondoi (rohyang tinggal di bunga) ;
Kujang (roh yang tinggal di pohon) ; Longit (roh yang tinggal di
mandau-mandau). Roh nenek moyang Suku Dayak sangat berpengaruh pada kehidupan.
Beberapa istilah :roh nenek moyang = Liu dunia roh = Ewu Liu (negeri kaya raya)
Dewa tertinggi = Ranying Proses bagi yang meninggal Upacara pembakaran mayat :-
Tiwah : Ngaju- Ijambe : Ma ‘anyan- Daro : Ot Danum Peti mayat disebut lesung,
yang merupakan kuburan sementara. Sandung / tambak : tempat untuk menyimpan
tengkorak yang tidak dibakar dan abu yang berasal dari yang dibakar.
Sejak awal kehidupannya, orang Dayak
telah memiliki keyakinan yang asli milik mereka, yaitu Kaharingan atau Agama
Helo/helu/. Keyakinan tersebut, menjadi dasar adat istiadat dan budaya mereka.
Agama Helo/helu/ atau Kaharingan hingga saat ini masih dianut oleh sebagian
besar orang Dayak, walau pada kenyataannya, tidak sedikit orang Dayak yang
telah menganut agama Islam, Kristen, Katholik. Demikian pula tidak semua
penduduk pedalaman Kalimantan adalah orang Dayak, karena telah berbaur dengan
penduduk dari berbagai suku akibat perkawinan dan berbagai sebab lain. Walaupun
demikian, tradisi lama dalam hidup keseharian mereka masih melekat erat tidak
hanya dalam bahasa, gerak-gerik, symbol, ritus, serta gaya hidup, namun juga
dalam sistem nilai pengartian dan pandangan mereka dalam memaknai kehidupan.
Agama Kaharingan diturunkan dan diatur langsung oleh Ranying Hatalla. Ranying
Hatalla adalah Allah yang Mahakuasa. Keyakinan tersebut hingga saat ini tetap
dianut dan ditaati oleh pemeluknya secara turun-temurun. Kaharingan tidak
mempunyai buku pedoman atau tokoh panutan sebagai pendiri yang merupakan utusan
Ranying Hatalla.
Agama Kaharingan percaya pada satu Tuhan
yang disebut dengan nama Ranying Hattalla (Tuhan Yang Maha Esa). Tempat
pertemuan atau berfungsi semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah
atau Balai Kaharingan. Ibadah rutin Kaharingan yang dilakukan setiap Kamis atau
malam Jumat. Sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan
adalah :
·
Panaturan, sejenis kitab suci
·
Talatah Basarah, kumpulan doa
·
Tawar, petunjuk tata cara meminta
pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras
·
Pemberkatan Perkawinan, dan
·
Buku Penyumpahan/Pengukuhan untuk acara
pengambilan sumpah jabatan.
Sedangakan untuk hari raya atau ritual
penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual kematian tahap
akhir dan upacara Basarah,
Kaharingan berasal dari bahasa Sangen
(Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti ada dan tumbuh
atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Pohon
Batang Garing berbentuk seperti tombak dan menunjuk tegak ke atas. Bagian bawah
pohon yang ditandai oleh adanya guci berisi air suci yang melambangkan Jata
atau dunia bawah. Antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah
merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling
berhubungan dan saling membutuhkan.
Buah Batang Garing ini, masing-masing
terdiri dari tiga yang menghadap ke atas dan tiga yang menghadap ke bawah,
melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang,
Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Buah garing yang menghadap arah atas dan
bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang berbeda secara
seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan
akhirat. Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu
pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi.
Disinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu
hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini. Dengan demikian
orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara
bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas,
yaitu di Lawu Tatau.
Religi dan Makna Upacara Kematian Masyarakat Dayak
Dalam banyak religi di dunia, upacara kematian
menempati tempat utama dan paling esensial dalam seluruh rangkaian upacara yang
pernah dikenal dalam kebudayaan manusia. Bagi Masyarakat dayak yang tinggal di
pedalaman Kalimantan, paling tidak terdapat dua makna dalam penyelenggaraan
upacara kematian, yakni makna religius dan makna sosial. Makna pertama, adalah
sebagai penghormatan terakhir dan pensucian arwah sekaligus mengantarkannya ke
dunia yang abadi. Makna kedua adalah makna sosial sebagai media berinteraksi
antar sanak saudara, tetangga, dan masyarakat sekelilingnya. Dalam dimensi ini
upacara kematian mampu mempertemukan berbagai kepentingan yang berasal dari
berbagai golongan dan lapisan sosial yang berbeda, bahkan menjalin hububungan yang harmonis antar etnik. Dengan demikian makna
sosial dari upacara kematian ini adalah menjaga keteraturan dalam masyarakat.
Bagi studi etnoarkeologi, upacara
kematian masyarakat dayak dapat dipergunakan sebagai jendela untuk melihat
perilaku masyarakat masa lampau tentang konsep hidup sesudah mati dan sistem
penguburan yang tidak dapat diamati oleh data arkeologi. Warisan budaya, living
tradition ini sekarang menghadapi tantangan zaman, akibat pengaruh dari
globalisasi yang sukar untuk dapat dikendalikan. Pendokumentasian dan
penelitian yang serius, sangat mendesak untuk segera dilakukan. Dalam konteks
upaya pelestarian inilah, pemerintah perlu menempatkan diri sebagai fasilitator
bukan legislator. Artinya pemerintah harus memposisikan sebagai pengemban,
bukan pemilik dari kebudayaan itu, sedangkan semuanya diserahkan kepada kemauan
masyarakat selaku pemilik dan pewaris dari kebudayaan yang bersangkutan.
Religi bukanlah subyek baru dalam ilmu
arkeologi. Salah satu bukti aktivitas religi pada masa lampau adalah adanya jejak
penguburan yang tersebar luas di wilayah Indonesia. Kecenderungan religi
sebagai salah satu unsur kebudayaan tidak bersifat statis, melainkan dinamis.
Religi bukan sekedar unsur budaya yang idealistik yang konsepsi-konsepsinya
dipalut oleh aura faktual agar kelihatan realisitis, melainkan merupakan unsur
budaya yang aplikatif.
Selama ini cara kerja arkeologi adalah
berdasarkan pada archaeological records, yaitu kebudayaan materi yang pada
hakekatnya merupakan wujud ide, gagasan atau kepercayaan masyarakat
penciptanya. Oleh karena yang dipelajari adalah budaya materi yang masyarakat
penciptanya telah punah, maka mengikuti kerangka pemikiran tersebut,
rekonstruksi yang dilakukan oleh arkeologi sebenarnya hanya terbatas pada
“etik” dan belum mampu menjangkau ke “emik” (Magetsari, 1995). Hal itu berarti,
jika misalnya kita meneliti masalah kepercayaan atau religi masyarakat yang
telah punah, kita tidak akan mampu membongkar sepenuhnya, karena adanya jarak
waktu maupun jarak kebudayaan yang sangat jauh antara peneliti dengan
masyarakat yang diteliti (telah punah).
Ketidakmampuan arkeologi mengobservasi
secara langsung terhadap “fakta arkeologi” yang telah punah tadi merupakan
penyebab arkeologi tidak dapat menjangkau emik. Keterbatasan ini sudah lama
disadari oleh Piggot yang menjelaskan bahwa arkeologi memang mampu
mendeskripsikan bahkan menyusun teori tentang organisasi upacara penguburan,
tetapi tidak mungkin mengetahui latar belakang kepercayaannya (Piggot, 1959;
Magetsari, 1995).
Dari paparan di atas, menjadi jelas,
bahwa kepercayaan yang melatarbelakangi upacara kematian dan sistem penguburan
suatu masyarakat prasejarah, misalnya, tidak mungkin dapat diungkapkan melalui
kajian artefak atau arhaeological records. Melihat kenyataan di atas, maka
upaya mengungkapkan konsep kepercayaan mayarakat prasejarah khususnya konsep
kematian dan sistem penguburan pada masyarakat yang telah hilang itu, perlu
memanfaatkan metode lain yaitu metode “analogi”. Pengertian analogi di sini
adalah memahami historical culture melalui analogi etnografi yang sekarang
lazim dikenal dengan etnoarkeologi. Tujuan dari analogi ini ialah untuk
memperoleh model kebudayaan yang mampu diproyeksikan pada kebudayaan masa
lampau (Watson, 1971: 50). Dalam konteks kepentingan kajian etnoarkeologi
inilah, kepulauan Kalimantan merupakan salah satu daerah penting, karena daerah
ini menyimpan banyak data etnografis yang belum tergarap. Berbagai konsep dari
tradisi prasejarah masih banyak yang dipertahankan dan bahkan dipraktikkan oleh
masyarakat dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan.
Tulisan ini akan mencoba mengkaji makna
upacara kematian yang masih sering dipraktikkan oleh berbagai suku masyarakat
Dayak di pedalaman Kalimantan, sebagai bahan analogi para arkeolog untuk
mengungkapkan berbagai fakta budaya pada masa prasejarah yang tidak dapat
diamati melalui artefak. Dengan demikian hasil dari pemaparan etnografi ini
diharapkan dapat diposisikan sebagai media intepretasi atau eksplanasi terhadap
data arkeologi yang pernah ditemukan di situs-situs penguburan prasejarah di
Kalimantan. Dengan perkataan lain dari analogi data etnografi ini dapat
diperoleh model kebudayaan yang mampu diproyeksikan pada kebudayaan masa
lampau. Namun demikian perlu diingat, bahwa tidak semua tingkah laku masyarakat
yang diperlukan dalam analogi tersebut tersedia pada masyarakat sekarang.
Demikian pula sebaliknya, tidak semua tingkah laku masyarakat pada masa
sekarang relevan untuk dianalogikan dengan masa lalu karena perkembangan atau
perubahan (Kramer, 1979:2).
2.
Religi Sebagai Sistem Kebudayaan
Istilah religi pada umumnya mengandung makna
kecenderungan batin manusia untuk berhubungan dengan kekuatan alam semesta,
dalam mencari nilai dan makna (Hadikusuma, 1993:17-19). Kekuatan alam semesata
itu dianggap suci, dikagumi, dihormati, dan sekaligus ditakuti karena luar
biasa sifatnya. Manusia percaya bahwa “Yang Suci” itu ada dan di luar kemampuan
dan kekuasaannya, sehingga manusia meminta perlindunganNya dengan cara menjaga
keseimbangan alam melalui berbagai upacara. Siapakah yang maha suci, kalau
bukan yang diagungkan dewa atau bentuk manisfestasinya dalam wujud benda, roh
leluhur menurut kepercayaannya. Dengan demikian, istilah religi di sini
menunjukkan adanya hubungan antara manusia dengan kekuasaan ghaib di luar kemampuannya,
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan mereka yang termanifestasikan ke dalam
tiga wujud kebudayaan, yaitu sistem gagasan, sistim tindakan dan artefak.
Dengan pengertian tersebut di atas,
religi adalah fenomena yang kompleks dan terelaborasi ke dalam setiap segmen
kehidupan manusia. Oleh karena itu tidak heran jika muncul banyak batasan dari
para ahli yang saling berbeda, tergantung dari sudut pandang keilmuan
masing-masing. Antropolog misalnya, memandang religi sebagai gejala budaya.
Oleh karena itu, yang dipelajari dan dianalisa antara lain, berupa ritus, mitos
serta praktik-praktik religius dan berkenaan dengan aspek simbol (Winangun,
1990: 66).
Definisi yang melihat religi sebagai
suatu upaya simbolis dikemukakan oleh J.van Ball (1971:242) :
“Religi adalah suatu sistem symbol-simbol yang
dengan sarana tersebut manusia berkomunikasi dengan jagat rayanya.
Simbol-simbol itu adalah sesuatu yang serupa dengan model-model yang saling
menjembatani berbagai kebutuhan yang saling bertentangan untuk pernyataan diri
dengan penguasaan diri …….. Bila tujuan (yakni obyek yang dikomunikasi itu)
menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata lisan, maka
simbol-simbol itu berfungsi sebagai perisai yang melindungi (menghalangi)
seseorang dari kecenderungannya untuk memperagarakannya secara langsung”.
Uraian di atas membuktikan kompleksnya
pengertian tentang religi, namun pada prinsipnya religi harus memuat lima unsur
yaitu, adanya emosi, keyakinan, upacara, peralatan dan pemeluk atau para penganut.
Hal yang terakhir ini cukup penting karena suatu upacara atau tindakan simbolis
tertentu seperti berdoa menadahkan tangan ke atas bukan hanya sekedar gerakan
kinetik tanpa arti. Gerakan tangan tersebut seringkali merupakan gerakan
simbolis yang sarat dengan makna. Demikian definisi tentang religi itu yakni
definisi yang memeri memuat hal-hal keyakinan, upacara dan peralatan, sikap dan
perilaku, alam pikiran dan perasaan di samping hal-hal yang menyangkut para
penganutnya sendiri (Koentjaraningrat, 1974:269-272).
Data tentang religi cukuplah kompleks
dapat berupa pandangan orang-orang atau masyarakat yang bersangkutan tentang
hidup sesudah mati, hal-hal yang dapat dipandang sebagai rujukan untuk
menjelaskan dan menata lingkungan nyata, tentang dewa-dewa atau segala sesuatu
yang dipandang orang sebagai obyek keramat dan dihormati atau segala sesuatu
yang dipandang maha dahsyat yang orang berlaku tunduk kepadanya. Data religi
itu juga berupa sejumlah atau serangkai tindak perbuatan seperti berdoa, bersujud,
bersaji, berkorban, makan bersama, menari, dan menyanyi, berprosesi, berseni
drama suci, berpuasa, bertapa, bersemedi dan intoksinasi (Koentjaraningrat,
1980:81). Atau seperti yang dikemukakan oleh Anthony F.C. Wallace (1966)
sebagai berdoa atau bersembahyang yang ditujukan kepada yang adikodrati
(supernatural) memainkan alat dan memperdengarkan musik yang diiringi oleh
tarian dan nyanyian tertentu, melakukan perbuatan kinetik tertentu yang
menggambarkan keadaan psikis tertentu, memberikan “peringatan” atau khotbah
yang ditujukan kepada orang lain, mengucapkan mantera yang menyangkut mite,
moral dan aspek keyakinan, melakukan simulasi, menggunakan atau memakai benda
tertentu yang diyakini mempunyai mana, berbuat tabu yakni tidak menggunakan
atau menyentuh sesuatu, berpesta atau berselamatan, berkorban yakni menyediakan
dan menyerahkan sesajen, berkonggresi seperti berkumpul bersama, dlsb.
Bertolak dari pandangan ini, maka sebutan
religi tidak hanya dikenakan bagi Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha
yang mempunyai penganut terbesar dan berasal dari berbagai bangsa, tetapi juga
terhadap semua keyakinan yang diorganisasikan dalam sistem-sistem tertentu dan
tindakan-tindakan berupacara yang dianut dan dilakukan oleh sedikit orang dalam
masyarakat-masyarakat bersahaja. Kelima “religi dunia” tersebut di atas di
negeri ini di sebut “agama” sedangkan “religi local” yang dianut terbatas oleh
suatu kelompok etnis tertentu dengan jumlah pemeluk relatif sedikit disebut
“kepercayaan” atau “keyakinan”.
Karya-karya Clifford Geertz mengenai
religi, kebudayaan, dan upacara, memperlihatkan suatu perspektif tersendiri
berkenaan dengan pengkajian mengenai sistem-sistem kognitif dan simbolik. Bagi
Geertz, religi merupakan bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap
dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu
hubungan dengan dan untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan tersebut.
Seperti dikatakannya : (1973:90).
Religi adalah suatu sistem simbol yang
bertindak untuk memantapkan perasaan-perasaan (moods) dan motivasi-motivasi
secara kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara
memformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai hukum/keteraturan (order), dan
menyelimuti konsepsi-konsepsi tersebut dengan suatu aura tertentu yang
mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi
tersebut nampaknya secara tersendiri (unik) adalah nyata ada.
Walaupun pemikiran religi dikatakannya
sebagai tidak semata-mata menstrukturkan kebudayaan, tetapi religi juga dilihat
sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan; suatu pedoman yang beroperasi
melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subyektif, dan
individual. Lebih jauh Geertz (1973: 89) beranggapan:
Kebudayaan adalah pola dari
pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam
simbol-simbol yang ditransmisikan secara historis, suatu sistem mengenai
konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara
tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan
sikap mereka terhadap kehidupan.
Dari tujuh unsur kebudayaan yang kita
pahami selama ini, religi atau kepercayaan merupakan bagian kebudayaan yang
sukar berubah. Koentjaraningrat ( 1990:97) dengan mengutip konsepnya R. Linton,
menjelaskan bagian kebudayaan yang sulit berubah terkategori dalam covert
culture atau inti dari suatu kebudayaan antara lain berupa keyakinan-keyakinan
keagamaan yang dianggap keramat dan sistem nilai budaya. Adapun bagian dari
kebudayaan yang lebih mudah berubah terkategori ke dalam overt culture
(perwujudan lahiriah) seperti misalnya peralatan. Secara hipotetis dapat dikatakan
bahwa tidak mungkin suatu sistem religi dari sekelompok masyarakat tertentu
dapat musnah, karena religi adalah inti dari kebudayaan (covert culture)
masyarakat. Itulah sebabnya mengapa religi yang dianut pada masa prasejarah
masih banyak yang bertahan hingga sekarang , khususnya oleh masyarakat dayak
yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan.
Masalahnya adalah bagaimana dengan suatu
religi yang kemudian terkikis dengan masuknya religi yang baru. Apakah
masyarakat pendukung religi yang lama ini akan kehilangan pegangan akibat
bergesernya sistem kepercayaannya? Jawabannya adalah prosesnya tidak semudah
itu. Karena mungkin saja suatu sistem religi itu berubah rupa maupun
penampilannya, namun sesungguhnya inti dari religi tersebut masih bisa sama.
Maksudnya adalah, bisa saja secara hipotetis suatu religi berganti oleh religi
lain, namun ide-ide dasar dari religi yang lebih baru itu sebenarnya memiliki
kesamaan-kesamaan dengan religi yang tergantikan itu. Oleh karena itu
seringkali terjadi mengapa penyebaran religi tertentu disebarkan ke suatu
masyarakat tertentu dianggap kurang efektif dan berkembang dibanding pada
masyarakat lainnya. Atau ada religi tertentu disebarkan ke masyarakat tertentu,
ternyata hasilnya lebih efektif dan berkembang dibanding religi lainya yang
juga disebarkan. Alasannya, karena memang ada kesamaan ide-ide dasar dari
religi yang disebarkan dengan religi lokal yang telah ada sebelumnya. Akibat
kesamaan ide-ide dasar inilah salah satu faktor penyebab bertahannya konsep-konsep
religi sejak zaman prasejarah hingga sekarang sebagaimana diperlihatkan oleh
aktivitas keagamaan berbagai suku dayak di pedalaman kepulauan Kalimantan.
Salah satu konsep religi masa prasejarah
yang hingga sekarang masih berlanjut dan bahkan melekat dan mempengaruhi
tatanan kehidupan masyarakat dayak [1] adalah konsepsi tentang penghormatan
terhadap roh leluhur. Masyarakat Dayak di pedalaman Kalimantan, secara umum
meyakini kematian bukan sekedar berakhirnya suatu kehidupan melainkan hanya
dianggap sebagai perpindahan dari dunia fana ke dunia baka. Dengan kata lain,
kematian bukan akhir dari kehidupan melainkan justru sebagai awal dari suatu
kehidupan di dunianya yang baru.
Tetapi masalah religi sebenarnya tidak
sekedar bagaimana manusia mengkosepsikan hidup sesudah mati, tetapi juga
masalah mengapa mereka mengkosepsikan hal itu dan untuk apa semua itu bagi
kehidupan seseorang di dalam masyarakat. Paling tidak ada tiga fungsi religi
yaitu pertama, membantu dan mendukung berlakunya nilai-nilai yang ada dan
mendasar dari kebudayaan suatu masyarakat. Kedua, menyajikan berbagai
penjelasan mengenai hakekat kehidupan manusia dan lingkungan serta ruang dan
waktu. Ketiga, religi memainkan peranan yang besar bagi individu-individu
karena religi menyajikan penjelasan dan bertindak sebagai kerangka sandaran
bagi ketentraman dan penghiburan hati dalam keadaan kesukaran dan kekacauan
yang dihadapi manusia. Keempat, religi mampu menyatukan berbagai faktor dan
bidang kehidupan ke dalam suatu pengorganisasian yang menyeluruh, sehingga
menciptakan rasa aman dan dan pencapaian tujuan kebenaran bersama (Radam, 1987:
21).
3.
Makna Upacara Kematian
A. Makna Religius
Di
kalangan masyarakat Dayak secara umum meyakini bahwa roh orang yang sudah
meninggal jika belum diselenggarakan upacara kematian (tiwah, atau ijambe, dll)
maka roh dapat mengganggu manusia yang masih hidup (Dyson, L. Dan Asharini ,
1981: 69). Dalam pengertian ini kematian hanyalah perubahan dalam wujud fisik,
tetapi roh akan terus hidup. Keyakinan atau kepercayaan masyarakat dayak
seperti itu, adalah salah satu bagian dari sistem ideologis yang juga salah
satu wujud kebudayaan.
Namun demikian kepercayaan atau keyakinan
itu belumlah dapat dikatakan sebagai religi. Barulah bila ada upacara yang
terkaitkan dengan keyakinan tersebut, religi yang menyeluruh terbentuk (Firth,
1972:216). Kedua unsur esensial antara keyakinan dan upacara adalah saling
memperkuat. Keyakinan menggelorakan upacara, sebaliknya upacara merupakan upaya
pembenaran terhadap keyakinan tersebut. Upacara itu berfungsi mengkomunikasikan
keyakinan kepada semua orang (Goldscmidt, 1971:526). Keduanya tidak dapat
dipisahkan yang satu terlepas dari yang lainnya. Jalur upacara inilah merupakan
bentuk budaya dalam sistem tindakan. Oleh karena itu, untuk mengantar roh orang
meninggal tersebut ke dunia akhirat maka masyarakat dayak perlu melakukan
serangkaian upacara kematian. Pada masyarakat Dayak Ngaju, upacara kematian ini
disebut tiwah dan pada masyarakat Dayak Ma’anyan dinamai ijambe, serta wara
atau mabatur bagi masyarakat Dayak Lawangan.
Jika orang dayak meninggal dunia, maka
jenazah dimasukkan kedalam peti mati yang oleh masyarakat Dayak Ngaju disebut
Raung, Dayak Ma’anyan menyebut tabela. Raung atau tabela ini berbentuk perahu
sebagai simbol perjalanan roh dan diberi hiasan burung enggang (hornbill)
sebagai simbol dunia atas. Tutup dan badan raung disatukan setelah jenazah
dimasukkan lalu diikat dengan tali rotan yang dianyam yang disebut saluang.
Ketika jenazah dimasukkan di dalam raung, beberapa benda kesayangan si arwah
semasa hidupnya juga diikut sertakan bersamanya sebagai bekal kubur. Raung
berisi jenazah dan bekal kubur tersebut ditanam di dalam tanah. Tetapi kuburan
tersebut sementara sifatnya, sebab yang terpenting adalah upacara pelepasan roh
yang oleh masing-masing etnik masyarakat dayak berdeda-beda penyebutannya. Baik
upacara kematian Tiwah, Ijambe dan upacara Wara atau mabatur, merupakan upacara
penguburan sekunder dengan pengambilan tulang-tulang untuk dipindahkan ke
kuburan permanen. Di atas kuburan permanen itulah didirikan bangunan yang
disebut pambak, Sandong [2]. untuk masyarakat Dayak Ngaju, tambak untuk Dayak
Ma’anyan, Kriring untuk dayak Lawangan, dll
Upacara kematian baik tiwah, Ijambe dan
upacara Wara atau mabatur, merupakan upacara yang bertujuan mengantarkan arwah
ke dunia baka, dan merupakan puncak serta akhir dalam rangkaian upacara
kematian orang-orang kaharingan. Upacara ini diselenggarakan biasanya selang
setahun sampai dengan beberapa tahun setelah seseorang meninggal, tergantung
dari kesiapan keluarga yang ditinggalkan dalam menyelenggarakan upacara.
Upacara kematian ini dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan kosmos yang
diharapkan dapat memberikan keselamatan baik kepada roh si mati maupun terhadap
manusia yang ditinggalkan.
Sebagaimana telah diuraikan di depan,
bahwa upacara kematian dilakukan sejalan dengan sistem kepercayaan yang dianut
dan sistem kepercayaan tersebut adalah bagian dari kebudayaan masyarakat Dayak
. Jadi upacara dilaksanakan sesuai dengan pedoman-pedoman yang berlaku yang ada
dalam kebudayaannya. Sedangkan untuk mengatur pelaksanaan upacara tersebut
telah ada pranata-pranata khusus sehingga upacara dapat berjalan tertib dan
teratur. Pekerjaan mengumpulkan tulang-tulang dan kemudian menempatkan ke dalam
sandong telah memiliki aturan-aturan khusus yang telah berlaku secara turun
temurun. Hal ini dapat kita lihat pada waktu orang-orang mengumpulkan sisa-sisa
jenasah dengan urut-urutan sebagai berikut: mula-mula yang diambil adalah
bagian kepala, menyusul bagian leher, badan dan seterusnya hingga ke ujung
jari-jari kaki, kemudian dibungkus dan dimasukkan ke dalam wadah berupa peti
kecil yang telah dipersiapkan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan kepercayaan
bahwa roh nenek moyang selalu mempunyai hubungan dengan orang-orang yang masih
hidup di terutama dengan sanak cucunya. Secara singkat makna religius dari
upacara kematian adalah membangkitkan arwah untuk disucikan sekaligus
diantarkan keduanianya.
Konsep kematian berbagai etnik masyarakat
Dayak di pedalaman Kalimantan tersebut di atas, bersumber dari kepercayaan
kaharingan [3] yang menekankan bahwa terdapat kehidupan setelah kematian.
Konsep kepercayaan seperti itu sama dengan kepercayaan masyarakat prasejarah
khususnya masyarakat megalitik yang didasari pandangan adanya hubungan antara
yang hidup dengan yang mati, khususnya kepercayaan akan adanya pengaruh kuat
dari roh manusia yang telah mati terhadap kesejahteraan masyarakat ( Soejono,
1984).
Dalam pelaksanaan upacara kematian seprti
misalnya upacara tiwah konsepsi kepercayaan prasejarah masih kuat sekali
sebagaimana tercermin dalam bentuk-bentuk budaya materi yang sarat akan
simbol-simbol kepercayaan terhadap roh leluhur. Hasil budaya materi tersebut di
samping berupa sandong dan rarung yang dulu sengaja dibentuk menyerupai perahu
simbol perjalanan roh, juga terdapat pada sapundu [4] sebagai pengikat hewan korban kerbau dalam
upacara tiwah. Upacara yang menuntut korban menurut Turner (1974 : 87) adalah
upacara sentral dalam religi masyarakat yang sederhana.
Pada prinsipnya semua religi di dunia
ini, memiliki sistem simbol sendiri-sendiri. Suatu simbol tidaklah memiliki
nilai dan kedudukan yang univesal, tetapi berlaku terbatas dalam sisitem religi
itu sendiri dan komunitasnya. Hewan korban kerbau misalnya, tidaklah memiliki
nilai dan kedudukan religius apa pun jika hewan itu tidak dalam konteks sebagai
upacara korban. Dia hanya seperti hewan kerbau lainnya yang tidak memiliki
nilai intrisik religius sebagai kendaraan arwah, jika tidak berada di dalam
sistem religi yang bersangkutan. Oleh karena nilai dan kedudukan simbol-simbol
itu diberikan atau ditetapkan oleh sistem religi yang bersangkutan, dalam hal
ini oleh komunitasnya, maka mempelajari upacara sebenarnya juga mempelajari
simbol-simbol.
Dengan demikian, sebagai suatu
keseluruhan, upacara mempunyai kedudukan sebagai perantara, simbolik, atau
mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai perantara metafor, dalam kaitannya
dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan bagi keduanya
(yaitu upacara dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat dan peranan.
Menurut Gertz (1973: 451) Kesanggupan dari upacara untuk bertindak dan
berfungsi seperti ini, yaitu menterjemahkan tingkat-tingkat tertentu yang ada
dalam kenyataan-kenyataan sosial menjadi tingkat yang lebih tinggi sehingga
membuat manusia menjadi sadar dengan melalui panca indera serta peranannya, dan
mewujudkan adanya ke-seia-sekataan yang secara struktural dalam bentuk
simbolik. Dengan demikian, hubungan antara upacara dengan agama di satu pihak
dengan organisasi sosial di lain pihak adalah merupakan hubungan yang langsung.
Peranan simbol adalah untuk mewujudkan atau mengekspresikan hubungan-hubungan
yang ada, dan bukannya untuk menghubungkan hubungan-hubungan ini dengan
kehidupan manusia secara konseptual berikut segala implikasinya.
B. Makna Upacara Sebagai Media Ikatan
Sosial
Upacara kematian atau penguburan masyarakat
Dayak di pedalaman Kalimantan, bukan sekedar aktivitas seremonial tanpa makna.
Upacara ritual ini juga dapat dipandang sebagai pendisiplinan yang memberikan
kekuatan dasar bagi suatu kelompok masyarakat untuk saling lebih terikat satu
dengan yang lain secara berkesinambungan. Fungsi upacara tidak sekedar bersifat
sakral melainkan juga bersifat sosial. Fungsi sosial upacara secara umum
menurut Brown (1965:242) akan mengatur, mempertahankan dan memindahkan dari
satu generasi ke generasi berikutnya sentimen-sentimen yang menjadi landasan
kelangsungan dan ketergantungan dalam masyarakat yang bersangkutan
Fakta budaya memperlihatkan, masyarakat
dayak pada umumnya merasakan adnyanya semacam kewajiban moral dan sosial untuk
melaksanakan upacara kematian terakhir. Kuwajiban moral, di dasari oleh
anggapan bahwa orang yang meninggal jika belum diselenggarakan upacara terakhir
maka jasad tidak dapat memasuki dunia arwah yang serba abadi, arwah akan tetap
berada di sekitar sanak keluarga yang masih hidup dan bahkan dapat mengancam
ketenangan. Kepercayaan inilah yang secara psikologis sangat mengganggu pikiran
bagi mereka yang belum melakukan upacara mengantarkan roh.
Sedangkan kuwajiban sosial yang dimaksud,
adalah perasaan yang tidak enak terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya jika
belum melakukan upacara. Kecenderungan upacara tiwah misalnya sebagai
penghormatan terakhir terhadap orang yang meninggal, maka bagaimana pun
besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan upacara kematian
tersebut, memaksa orang tetap berusaha agar dapat melaksanakan maksudnya.
Pelaksanaan upacara kematian melibat banyak orang dalam masyarakat dan mempunyai
jaringan kegiatan yang cukup luas. Jadi jelaslah bahwa upacara kematian
mempunyai fungsi dan peranan tersendiri dalam masyarakat dayak.
Apabila kebudayaan dilihat sebagai
seperangkat model-model pengetahuan yang secara selektif digunakan oleh para pendukungnya,
terutama sebagai makhluk sosial untuk menginterpretaikan dan memahami
lingkungan yang dihadapi, dan digunakan sebagai referensi dan pedoman untuk
bertindak (Suparlan, 1988), maka wujud budaya spiritual para penganutnya yang
secara bergenerasi telah mereka pedomani dan fungsikan, ternyata tidak hanya
untuk mempertahankan keberadaan mereka, tetapi juga untuk dapat berubah dan
berkembang. Dengan demikian, hubungan fungsional antara budaya spiritual para
penganut (yang mungkin dianggap telah “klasik”) dengan tuntutan pembangunan
(yang “modern” dan penuh dinamika), dapat dengan mudah mengalami perkembangan.
Demikian pula yang terjadi pada
masyarakat dayak yang sekarang telah berpikir dan bertindak secara praktis.
Upacara kematian yang mereka selenggarakan baik itu upacara tiwah, maupun
upacara marabia atau ijambe, serta mabatur misalnya, sebagai upacara pengantar
roh ke dunia arwah, tidak harus diselenggarakan secara individual melainkan
demi efisiensi beaya diselenggarakan secara masal dengan beaya ditanggung
secara bersama. Bahkan upacara ini dapat saja dikemas sedemikian rupa menjadi
sebuah event wisata yang laku keras di kalangan turis asing yang haus akan
informasi budaya. Tetapi fungsi upacara kematian tersebut nampaknya tetap
terjaga dan tak tergoyahkan oleh berbagai perubahan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa
fungsi dan peranan sosial dari upacara kematian adalah menjaga keteraturan
dalam masyarakat. Sebab upacara kematian dilakukan berkenaan dengan
pedoman-pedoman dalam kebudayaan, sedangkan fungsi kebudayaan adalah sebagai
pegangan bagi mewujudkan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Jadi untuk
menjaga hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat akan berlaku dan bertindak
sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam kebudayaannya.
Dari pemaparan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa penyelenggaraan upacara tiwah tidak saja dipengaruhi oleh
sistem kepercayaan yang berlaku tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
Bahkan dalam perkembangan selanjutnya dari upacara tersebut, agaknya orang
lebih menekankan pada aspek sosialnya dari pada aspek kepercayaan yang menjadi
sumber dari upacara kematian tersebut. Misalnya pandangan semakin banyak kerbau
yang dikorbankan dan semakin lama upacara berlangsung, akan semakin menambah
kebanggaan dari penyelenggara dan nama keluarga tersebut akan menjadi buah
bibir di mana-mana. Upacara tiwah memakan biaya yang besar, sehingga dilihat
dari dimensi ini nampaknya upacara ini semacam pemborosan, apalagi jika
dilakukan secara menyolok untuk menunjukkan kemampuan pihak pelaksana. Bagi
keluarga yang kurang atau tidak mampu, keinginan untuk melaksanakan upacara
tiwah sebagai cambuk bagi mereka untuk bekerja lebih keras agar mendapatkan
dana demi tercapainya keinginan tersebut.
Pada masa sekarang ini pesta tiwah selain
diselenggarakan oleh keluarga secara sendiri-sendiri, dapat pula dilakukan
bersama-sama oleh sekelompok keluarga atau bahkan oleh satu desa. Mereka
bersama-sama mengumpulkan dana kemudian menyelengarakan upacara tiwah.
Kadang-kadang terjadi pula pihak yang satu hanya membatu pihak yang lain, dan
dikemudian hari tentunya pihak yang pernah dibantu akan membalas bantuan
tersebut. Dari sini kita melihat bahwa masyarakat dapat menjalin kerjasama yang
baik untuk mencapai tujuan masing-masing, yang berkaitan dengan kebudayaannya.
Biasanya upacara tiwah berlangsung
setelah musim panen padi, hal ini mengingat bahwa setelah panen orang-orang
memiliki bahan pangan yang cukup. Jadi dengan adanya bahan pangan yang cukup
serta waktu luang sementara menunggu musim membuka hutan berikutnya,
orang-orang merasa lebih tenteram menghadipi hidupnya sehingga dapat melakukan
kegiatan lain di luar pekerjaan rutin di ladang. Melihat keadaan yang demikian
dapatlah kita pahami mengapa keterlibatan masyarakat cukup besar pada saat
pesta tiwah dilangsungkan. Bagi pengunjung pasti akan memberikan kesempatan
mendapat kenalan baru atau bertemu dengan kenalan lama, bagi muda-mudi dapat
saling mengenal, dan bagi keluarga, tiwah dapat dijadikan sarana mempererat
hubungan kekeluargaan, karena seluruh sanak saudara di mana pun berada pasti
hadir dalam upacara tiwah sebagai upacara pelepasan roh leluhurnya. Pelepasan
jiwa dari raga yang kemudian di antarkan menuju ke dunia lain melalui upacara
tiwah inilah merupakan saat-saat yang sakral bagi masyrakat dayak yang masih
hidup di dunia.
Dengan demikian, sebagai suatu
keseluruhan, upacara kematian ini mempunyai kedudukan sebagai perantara,
simbolik, atau mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai perantara metafor,
dalam kaitannya dengan kebudayaan dan pemikiran subyektif yang memungkinkan
bagi keduanya (yaitu upacara dan kebudayaan) untuk dapat saling bertukar tempat
dan peranan. Kesanggupan dari upacara untuk bertindak dan berfungsi seperti
ini, yaitu menterjemahkan tingkat-tingkat tertentu yang ada dalam
kenyataan-kenyataan sosial menjadi tingkat yang lebih tinggi sehingga membuat
manusia menjadi sadar dan mewujudkan adanya kebersamaan yang secara struktural
dalam bentuk simbolik. Hubungan antara upacara dengan agama di satu pihak dengan
organisasi sosial di lain pihak adalah merupakan hubungan yang langsung.
Peranan simbol adalah untuk mewujudkan atau mengekspresikan hubungan-hubungan
yang ada, dan bukannya untuk menghubungkan hubungan-hubungan ini dengan
kehidupan manusia secara konseptual.
Mencermati proses pelaksanaan upacara
kematian di berbagai etnis masyarakat dayak di pedalaman Kalimantan, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada dalam riligi mayarakat dayak yang sifatnya
individual, kecuali yang sifatnya magik seperti mencuci senjata misalnya. Hal
tesebut sangat nyata disepanjang kegiatan upacara kematian berlangsung, semua
dilakukan secara bersama baik dalam tingkat persiapan maupun pelaksanaan. Semua
upacara kematian bahkan mungkin upacara yang berada disepanjang lingkaran hidup
atau berkaitan dengan perladangan, tidak dipandang sebagai kegiatan perorangan
tapi sebaliknya dipahami sebagai aktivitas bersama. Semua upacara dilakukan
oleh dan untuk tujuan bersama. Orang-orang desa bahkan orang-orang dari uar
desa setempat penyelenggara upacara banyak yang berdatangan mengunjungi upacara
kematian walau pun tidak diundang. Rasa solidaritas yang dalam dan kuat,
menjadikan upacara menjadi semarak. Jumlah pengunjung upacara yang terlibat
dalam upacara termasuk banyaknya peserta upacara pasif dan tamu undangan,
memberikan sifat dan status tertentu pada penyelenggara tiwah. Semakin banyak
orang-orang yang hadir ikut upacara (pasif maupun aktif) menunjukan semakin
tinggi pula kedudukan sosial masyarakat tersebut dan makin terhormat pula
masyarakat desa penyelenggara tiwah tersebut. Demikian religi mengintensifkan
kerja sama masyarakat dan kesalingtergantungan semua warga dalam suatu
komunitas masyarakat. Kecenderungan upacara sebagai pembenaran atas keyakinan,
terkonsepsikan untuk banyak orang, bukan untuk dilaksanakan perorangan.
Masyarakat dayak di pedalaman kepulauan
Kalimantan, memiliki pemahaman ketuhanan yang sangat kuat sebagaimana tercermin
di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Keagamamaan mereka bukan dalam arti
seperti agama besar, Islam, Kristen, atau budha dan bahkan Hindu, namun
terbatas pada dunia lingkungan sukunya sendiri berhubungan dengan ikatan yang
esensial terhadap nenek moyangnya. Penghormatan terhadap roh leluhur tersebut,
oleh beberapa ilmuwan barat dijadikan pusat perhatian untuk menggunakan istilah
agama dalam judul buku-buku hasil penelitiannya seperti Ngaju Religion, Dayak
religion dll. Istilah tersebut memperlihatkan, bahwa imuwan-ilmuwan barat itu
meghormati kepercayaan masyarakat dayak.
Konsep religi masyarakat dayak yang
mendasarkan pada kaharingan jelas sekali berlandaskan pada konsep religi pada
masa prasejarah yang sudah mulai muncul sejak akhir neolitik dan awal
paleometalik. Penghormatan terhadap roh leluhur, terlihat dalam konsep kematian
yang berdampak pada praktik-praktik penguburan primer dan sekunder yang sudah
ada sejak zaman prasejarah. Kematian bukanlah tidur yang panjang tak
berkesudahan, kematian juga bukan akhir dari kehidupan, melainkan justru awal
dari suatu kehidupan yang baru. Artinya, setelah kematian, roh perlu kembali ke
tempat asal dan hidup abadi di sana. Karena itu ketika mereka masih hidup di
dunia, mereka harus berbuat baik sesuai dengan ajaran-ajaran yang dituturkan
oleh nenek moyangnya.
Dalam banyak religi di dunia, upacara
kematian menempati tempat utama dan paling esensial dalam perjalanan kehidupan
manusia. Paling tidak terdapat dua makna dalam upacara ini bagi masyarakat
dayak. Makna pertama, adalah untuk mensucikan arwah sekaligus mengantarkannya
ke dunia akhirat. Di balik kesakralan upacara ini nampak ada semacam kewajiban
moral dan sosial untuk melaksanakan upacara. Kewajiban secara moral dilatar
belakangi oleh keyakinan bahwa orang yang meninggal jika belum menjalani
upacara tidak dapat memasuki dunia arwah yang serba abadi, Kepercayaan inilah
yang secara psikologis sangat mengganggu pikiran bagi mereka yang belum
melakukan upacara baik upacara tiwah (Dayak Ngaju) maupun upacara Mabatur
(Dayak Lawangan) maupun upacara . (Dayak Ma’anyan) dan sebagian besar
masyarakat dayak lainnya.
Makna kedua dari upacara kematian adalah
makna sosial itu sendiri. Artinya peranan upacara adalah untuk mempersatukan
sistem kebudayaan dan sistem konsepsi dengan menempatkannya pada
hubungan-hubungan formatif dan reflektif antara satu dengan yang lainnya dalam
suatu cara sebagaimana masing-masing itu dihubungkan dengan asal mula
simboliknya dan asal mula ekspresinya. Penyelenggaraan upacara kematian ini,
tidak saja dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang berlaku tetapi juga
dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Upacara kematian merupakan arena sosial di
mana orang memiliki kesempatan untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi.
Upacara kematian mampu mempertemukan berbagai kepentingan yang berasal dari
berbagai golongan dan lapisan sosial yang berbeda, bahkan menjalin hububungan
yang harmonis antar etnik. Dengan demikian secara ringkas makna sosial dari
upacara kematian ini adalah menjaga keteraturan dalam masyarakat.
Namun demikian dalam perkembangan
selanjutnya upacara ritual ini memaksa penyesuaian dengan perkembangan dan
tuntutan zaman. Masyarakat Dayak Ngaju atau Dayak Lawangan misalnya, sekarang
telah berpikir dan bertindak secara praktis. Upacara kematian tidak harus
diselenggarakan secara individual melainkan demi efisiensi diselenggarakan
secara masal dengan beaya ditanggung secara bersama. Bahkan upacara tiwah dapat
saja dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah event wisata yang laku keras di
kalangan turis. Tetapi fungsi upacara kematian tersebut nampaknya tetap terjaga
dan tak tergoyahkan oleh berbagai perubahan. Pengemasan upacara dalam bentuk
sajian yang dijual kepada wisatawan local maupun asing inilah yang sekarang
sedang dikembangkan oleh pemerintah daerah dalam memajukan daerahnya.
Guna kepentingan studi arkeologi,
kehidupan tradisional sehari-hari sosial-budaya masyarakat dayak ini sangat
penting. Khususnya bagi studi etnoarkeologi yang bertujuan membongkar berbagai
aspek kebudayaan masa lampu melalui analogi kehidupan masyarakat sekarang.
Penelitian yang serius terhadap “dunia” masyarakat dayak akan mampu menambah
cakarawala baru tentang misteri kehidupan masyarakat prasejarah di Indonesia
pada umumnya, di Kalimantan pada khususnya. Melalui penelitian etnoarkeologi,
berbagai fenomena masa lalu yang tidak sanggup dipahami melalui data arkeologi,
pada akhirnya dapat terbongkar melalui data etnografi berupa kehidupan sosial
sehari-hari masyarakat dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan. Kehidupan
religi masyarakat dayak dengan upacara kematian, dapat dipergunakan sebagai
jendela untuk melihat perilaku masyarakat masa lampau tentang sistem penguburan
mayat atau keyakinan hidup sesudah mati yang tidak dapat diamati oleh data
arkeologi.
MATA
PENCAHARIAN SUKU DAYAK KALIMANTAN TIMUR
Kalimantan memiliki landasan tanah yang
terdiri dari karang padas, dan lapisan tanah humus yang tipis, sedang
daratannya berupa hutan. Dengan penduduk yang tidak begitu padat.
Berladang menjadi salah satu pilihan mata
pencaharian masyarakat suku Dayak. Pekerjaan ini membutuhkan banyak tenaga.
Sehingga pengerjaannya dilakukan oleh kelompok yang biasanya berdasarkan
hubungan tetangga atau kekerabatan. Jadi bisa dibilang sistim mata pencaharian
ini berhubungan juga dengan kehidupan sosial diantara anggota suku. Dalam
berladang, diperhatikan pula tanda-tanda alam alam, yang salah satunya dengan
cara memperhatikan hewan liar. Perhatian terhadap tanda-tanda alam ini salah
satunya adalah terkait dengan waktu yang tepat untuk membuka lahan, atau
mengolahnya, disesuaikan dengan musim yang menentukan curah hujan.
Tanaman yang ditanam rupanya sesuai
dengan kebutuhan. Diantaranya adalah padi enam bulanan, padi empat bulanan, dan
padi ketan yang merupakan kebutuhan dalam upacara adat. Salah satu upacara adat
yang dilakukan adalah pada saat buka lahan. Tujuannya untuk menambah kesuburan
tanah, menolak hama, dan mengusahakan hasil bumi yang berlimpah. Selain itu
ditanam juga ubi kayu yang bukan hanya dikonsumsi ubinya, tapi juga daunnya
untuk lauk pauk. Satu lagi yang sangat penting adalah pohon pinang, karena
masyarakatnya baik perempuan maupun laki-laki gemar makan sirih dan pinang.
Setelah tanah lahan tidak lagi baik, lahan ditinggalkan dengan menanam pohon
karet untuk diambil manfaatnya kelak.
Selain berladang, terutama pada saat
menunggu waktu membuka lahan, suku Dayak melakukan pekerjaan lain. Diantaranya
adalah berburu, mencari hasil hutan, dan mencari ikan di sungai. Hasil
pekerjaan yang dikenal masyarakat luar suku adalah barang-barang hasil anyaman.
Konsep Kepemimpinan Suku Dayak Khususnya
di Daerah Kalimantan TengaH
Suku Dayak amat taat dan setia kepada
pemimpin yang telah mereka akui sendiri. Di lain pihak, untuk mendapatkan pengakuan
dari penduduk, seorang pemimpin harus benar-benar mampu mengayomi dan mengenal
masyarakatnya dengan baik. Pemimpin suku Dayak, bukan seorang yang hanya
memberi perintah atau menerima pelayanan lebih, dari masyarakat, namun justru
sebaliknya. Pemimpin yang disegani ialah pemimpin yang mampu dekat dan memahami
masyarakatnya antara lain : bersikap
• Mamut Menteng, maksudnya gagah perkasa
dalam sikap dan perbuatan. Ia disegani bukan dari apa yang ia katakan, namun
dari apa yang telah ia lakukan. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Dalam
sikap dan perbuatan selalu adil. Apa yang diucapkan benar dan berguna. Nama
baik bahkan jiwa raga dipertaruhkan demi keberpihakannya kepada warganya. Sikap
mamut menteng yang dilengkapi dengan tekad isen mulang atau pantang menyerah
telah mendarah daging dalam kehidupan orang Dayak. Tidak dapat dipungkiri
kenyataan itu sebagai akibat kedekatan manusia Dayak dengan alam. Bagi mereka
tanah adalah ibu, langit adalah ayah dan angin adalah nafas kehidupan. Dengan
demikian Kemanapun pergi, dimanapun berada, bila kaki telah berpijak dibumi
takut dan gentar tak akan pernah mereka miliki. Salah satu contoh sikap mamut
menteng dan keberpihakan para pemimpin Dayak kepada warga sukunya jelas
terlihat dalam kisah perempuan pejuang Dayak. Namanya Nyai Undang. Merasa harga
diri dilecehkan oleh sikap sewenang-wenang lelaki kaya raya yang berasal dari
seberang, ia mampu mengkoordinir kekuatan para pangkalima atau panglima suku
yang tersohor kemampuannya. Bukan saja mengkoordinir, tetapi ia juga mampu
mengontak dan melobi mereka dalam waktu yang sangat singkat. Dalam sekejap,
para pangkalima yang diundang datang dan berkumpul di pulau Kupang. Sarana
komunikasi yang digunakan adalah Lunjo Buno atau Ranying Pandereh Bunu atau
Renteng Nanggalung Bulau yaitu tombak yang diberi kapur sirih pada mata tombak.
Lunju Bunu adalah totok bakakak. Totok bakakak berarti sandi atau kode atau
bahasa isyarat yang umum dimengerti masyarakat suku Dayak. Dalam bahasa isyarat
apabila mengirimkan lunjo buno berarti minta bantuan karena akan ada serangan.
Tombak bunu tersebut dikirimkan ke segala penjuru untuk mengundang para
pangkalima untuk segera hadir ditempatnya. Sesungguhnya Nyai Undang telah
memiliki kekasih hati. Namun akibat kecantikannya yang sangat tersohor, ia
dilamar lengkap dengan emas kimpoi yang memukau, oleh seorang lelaki kaya raya.
Lamaran tersebut juga diiringi ancaman bahwa apabila ditolak maka peperangan
tidak dapat dihindarkan. Singkat kata, pertempuranpun meletus di Pulau Kupang,
kota Pamatang Sawang yang terletak di wilayah Kalimatan Tengah sekarang (
Disini kota artinya benteng pertahanan yang terbuat dari kayu tabalien/kayu
ulin/kayu besi atau dapat pula terbuat dari batu ). Pasukan Nyai Undang yang
didukung oleh para pangkalima handal berhasil memenangkan pertempuran. Demi
keberpihakan kepada warga sukunya, para pemimpin dan pangkalima perang dengan
tulus dan ihklas siap bergabung untuk bersama maju perang menanggapi ajakan
seorang warga suku yang merasa dilecehkan. Pemimpin yang berjiwa mamut menteng
siap serahkan jiwa raga demi mengayomi dan keberpihakan kepada warga
masyarakatnya. Mereka tidak takut ditertawakan, tidak takut pula akan adanya
penghianatan, karena pada dirinyapun tidak terbersit sedikitpun niat untuk
berkhianat pada warganya. Segalanya dilakukan dengan tulus dan kesungguhan
sehingga kelecakan atau kesombongan rontok berkeping-keping.
• Harati berarti pandai. Disamping pandai
ia juga seorang yang cerdik dalam arti positif. Kecerdikannya mampu menjadikan
dirinya sebagai seorang pemberi inspirasi bahkan sebagai seorang the greatest
inspirator bagi warganya. Kemampuan dalam berkomunikasi dengan warganya,
keakraban yang tidak dibuat-buat, menjadikan seorang pemimpin suku Dayak
memiliki kepekaan yang tajam. Peka maksudnya sebelum peristiwa terjadi, ia
telah terlebih dahulu menditeksi segala kemungkinan yang bakal terjadi
dilingkungannya. Mampu membedakan mana yang benar, mana yang salah. Sebagai
contoh, seorang pemimpin Dayak dalam kesibukannya selalu berusaha meluangkan
waktu maja atau mengunjungi rumah warganya dengan keakraban yang tidak
dibuat-buat. Maksudnya mereka tidak bersikap sok akrab untuk mendapatkan
dukungan, tetapi maja atau berkunjung tersebut dilakukan karena memang mereka
senang melakukannya. Terkadang tanpa diduga kunjungan mendadak tersebut
dibarengi permintaan makan kepada keluarga tersebut. Sikap demikian tentu saja
mengagetkan pemilik rumah namun meninggalkan kenangan indah kepada keluarga
yang dikunjungi.
• Bakena berarti tampan/cantik, menarik,
dan bijaksana. Lebih luas maksudnnya Inner beauty yaitu ketampanan/kecantikan
yang terpancar dari dalam jiwa. Cahaya matanya memancarkan keadilan,
perlindungan, rasa aman dan bakti. Dimanapun berada, ia akan selalu disenangi
dan disegani. Semua ini secara otomatis akan muncul apabila segala tugas dan
tanggung jawab dilaksanakan dengan ihklas tanpa pamrih.
• Bahadat maksudnya beradat. Bukan hanya
mengerti dan memahami hukum adat dan hukum pali dengan baik, namun nyata
terlihat dalam tindakan sehari-hari. Ranying Hatalla atau Allah Yang Maha Kuasa
turut serta mengawasi setiap tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin,
sehingga kendali diri pegang peranan dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya. Berani berlaku tidak adil konsekwensinya hukuman akhirat akan
diterima setelah kematian terjadi.
• Bakaji maksudnya berilmu tinggi dalam
bidang spiritual. Ia selalu berusaha untuk mencapai hening, serta membersihkan
dan menyucikan jiwa, raga dengan rutin dan berkala. Saat hening adalah saat
yang paling tepat untuk berdialog dengan diri sendiri, menata sikap untuk tetap
kokoh berpegang pada tujuan agar tidak mudah terombang ambing. Kokoh kilau
sanaman yang artinya sekokoh besi.
· Barendeng
berarti mampu mendengarkan informasi juga keluhan warganya. Telinganya selalu terbuka
bagi siapapun. Hal ini bukan berarti bahwa pemimpin suku Dayak hanya
menghabiskan waktunya dengan menerima kunjungan warga untuk berkeluh kesah dan
bersilaturahmi dengannya. Tanpa bertemu langsung dengan orang perorang,
pemimpin Dayak mengetahui banyak situasi dan kondisi setiap keluarga. Ia telah
menyediakan hati dan telinganya untuk menampung dan mendengarkan lalu
mengolahnya menjadi bagian dari tugas dan tanggung jawabnya. Salah satu contoh
dalam kehidupan sehari-hari dapat disaksikan dalam tradisi mihup baram atau
minum tuak, babusau atau mabuk atau minum minuman yang mengandung alcohol
hingga mabuk. Sekalipun dalam keadaan mabuk, pemimpin Dayak selalu berusaha
mengendalikan kesadarannya sehingga dengan sarana mihup baram sampai babusau
atau minum baram hingga mabuk, seorang pemimpin mampu menangkap dan merekam
luka, kekecewaan, dan kemarahan terpendam warganya. Hal ini terjadi dimasa
lalu. zaman telah berganti. Tradisi babusau sebagai sarana merekam isi hati
warga masyarakat sudah seharusnya ditinggalkan karena terlalu besar resikonya.
Apa yang tertulis disini hanya sebagai kisah masa lalu.
Kesenian Suku Dayak
1. Seni Tari Dayak
Dalam seni tari Dayak, dikenal beragam
tari Dayak dengan gerakan yang eksotik dan memukau. Lewat gerakan para penari
Dayak yang biasanya diiringi dengan tetabuhan yang khas, unsur ritmis yang
berpadu serasi menjadi sebuah seni penuh makna. Jenis-jenis tari Dayak yang
cukup sering ditampilkan di depan umum,di antaranya:
a.
Tari Gantar.
Tarian ini menggambarkan orang menanam padi.
Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian di
dalamnya menggambarkan benih pada dan wadahnya. Tarian ini cukup terkenal dan
sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya. Tarian ini
tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak
Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn,
Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
b.
Tari Kancet Papatai/Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang
pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Tarian ini sangat lincah,
gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penarinya.
Dalam tarian ini, penari mempergunakan pakaian tradisional suku Dayak Kenyah
dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang.
Tarian ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik
Sampe.
c.
Tari Serumpai
Ini merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq
yang dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit
anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian ini diiringi alat musik
Serumpai (sejenis seruling bambu).
d.
Tarian Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak
penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah
diubah menjadi tarian, tarian ini sering disajikan pada acara-acara kesenian
lainnya. Tarian ini merupakan tarian dari suku Dayak Benuaq.
e.
Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq
untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon besar dan tinggi agar tidak
menggangu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
f.
Tarian Pecuk Kina
Trian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak
Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long
Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
g.
Tarian Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku
Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut
riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah
di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas
kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku
Dayak Kenyah.
h.
Tarian Baraga’Bagantar
Awalnya Baraga’Bagantar adalah upacara belian
untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara
ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benua.
2. Seni
Musik Dayak
Seni musik memegang peranan penting dalam
hidup keseharian SukuDayak, terlebih dimasa dahulu. Pewarisan budaya yang lebih
dikenal denganistilah Tetek Tanum, terkadang menggunakan kecapi sebagai sarana.
TetekTanum adalah cara bercerita dengan kalimat berirama tentang asal usulnenek
moyang, sejarah masa lalu suku, tentang kepahlawanan padagenerasi penerus.Dalam
setiap upacara adat, pesta pernikahan, acara kematian, suara musikdalam bentuk
Gandang Garantung. Musik Gandang Garantung adalahgabungan dari suara beberapa
alat musik yaitu buah gandang atau kendang yang dimainkan oleh satu orang.
Garantung atau gong berjumlah lima buah,tiga gong dimainkan oleh seorang dan
dua lainnya dimainkan oleh orang yang berbeda.Pada umunya Suku Dayak gemar
melantunkan ungkapan hati danperasaan , kisah-kisah kehidupan dan kepahlawanan
sukunya dengan kalimat berirama. Ekspresi kalimat yang dilantunkan dengan irama
laguberbeda, misaknya Sansana Kayau
memiliki irama lagu tertentu, begitu pula Mohing Asang, Ngendau dan
sebagainya. Namun dari awal hingga akhir irama tersebut monoton dan
diiringimusik kecapi. Nyaris dalam setiap upacara adat dilengkapi dengan
tradisi tersebut.
a.
Mansana Kayau
Mansana Kayau ialah kisah kepahlawanan yang
dilagukan. Biasanya dinyanyikan bersaut-sautan dua sampai empat orang, baik
perempuanataupun laki-laki.
b.
Mansana Kayau Pulang
Mansana Kayau pulang ialah kisah yang
dinyanyikan pada waktu malamsebelum tidur oleh para orang tua kepada anak dan
cucunya denganmaksud membakar semangat anak turunannya untuk membalas
dendamkepada Tambun Bupati yang telah membunuh nenek moyang mereka.
c.
Karungut
Karungut ialah sejenis pantun yang dilagukan.
Dalam berbagai acarakarungut sering dilatunkan, misalnya pada acara penyambutan
tamu yangdihormati. Salah satu ekspresi kegembiraan dan rasa bahagia
diungkapkandalam bentuk karungut. Terkadang ditemukan perulangan kata pada
akhirkalimat namun terkadang juga tidak. Untuk mengamati cara tutur orangDayak
dalam mengekspresikan perasaan mereka, maka terjemahan dalamBahasa Indonesia
dibuat dalam sebagaimana adanya kata per kata.
d.
Karunya
Karunya ialah nyanyian yang diiringi suara
musik sebagai pemujaankepada Ranying Hatala.Dapat juga diadakan pada saat
upacarapengangkatan seorang pemimpin mereka atau untuk menyambutkedatangan tamu
yang sangat dihormati.
e.
Baratabe
Baratabe ialah nyanyian untuk menyambut
kedatangan pada tamu.
f.
Salengot
Salengot ialah pantun berirama yang biasa
diadakan pada pestapernikahan, namun dalam upacara kematian Salengot terlarang
oleh adatuntuk dilaksanakan. Salengot khusus dilakukan oleh laki-laki dalammenceritakan
riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelaitersebut.
Alat musik yang biasa terdapat di dalam
kebudayaan Suku Dayak adalahsebagai berikut :
1.
Garantung
Garantung adalah gong yang terdiri dari 5 atau
7 buah, terbuat daritembaga.
2.
Sarun
Sarun ialah alat musik pukul yang terbuat dari
besi atau logam. Bunyi yang dihasilkan hanya lima nada.
3.
Salung
Salung sama dengan Sarun, tetapi Salung
terbuat dari bambu.
4.
Gandang Mara
Gandang Mara ialah alat musik perkusi sejenis
gendang dengan ukuransetengah sampai tiga per empat meter. Bentuki silinder
yang tewrbuatdari kayu dan pada ujung permukaan di tutup kulit rusa yang telah
dikeringkan. Kemudian di ikat rotan agar kencang dan lebih kencang lagi di beri
pasak.
3. Rumah Adat Suku Dayak
Rumah
Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru
Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat
pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi
suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti
pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman
penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya
berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil
ladang, kebun maupun ternak).
·
Bentuk dan besar rumah Betang ini bervariasi
di berbagai tempat. Ada rumah Betang yang mencapai panjang 150 meter dan lebar
hingga 30 meter. Umumnya rumah Betang di bangun dalam bentuk panggung dengan
ketinggian tiga sampai lima meter dari tanah. Tingginya bangunan rumah Betang
ini saya perkirakan untuk menghindari datangnya banjir pada musim penghujan
yang mengancam daerah-daerah di hulu sungai di Kalimantan. Beberapa unit
pemukiman bisa memiliki rumah Betang lebih dari satu buah tergantung dari
besarnya rumah tangga anggota komunitas hunian tersebut. Setiap rumah tangga
(keluarga) menempati bilik (ruangan) yang di sekat-sekat dari rumah Betang yang
besar tersebut, di samping itu pada umumnya suku Dayak juga memiliki
rumah-rumah tunggal yang dibangun sementara waktu untuk melakukan aktivitas
perladangan, hal ini disebabkan karena jauhnya jarak antara ladang dengan
tempat pemukiman penduduk.
·
Lebih dari bangunan untuk tempat tinggal suku
dayak, sebenarnya rumah Betang adalah jantung dari struktur sosial kehidupan
orang Dayak. Budaya Betang merupakan cerminan mengenai kebersamaan dalam
kehidupan sehari-hari orang Dayak. Di dalam rumah Betang ini setiap kehidupan
individu dalam rumah tangga dan masyarakat secara sistematis diatur melalui
kesepakatan bersama yang dituangkan dalam hukum adat. Keamanan bersama, baik
dari gangguan kriminal atau berbagi makanan, suka-duka maupun mobilisasi tenaga
untuk mengerjakan ladang. Nilai utama yang menonjol dalam kehidupan di rumah
Betang adalah nilai kebersamaan (komunalisme) di antara para warga yang
menghuninya, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang mereka miliki. Dari sini
kita mengetahui bahwa suku Dayak adalah suku yang menghargai suatu perbedaan.
Suku Dayak menghargai perbedaan etnik, agama ataupun latar belakang sosial.
4.
Tradisi Penguburan
Tradisi
penguburan dan upacara adat kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam
hukum adat. Sistem penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan
manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya penguburan di
Kalimantan :
penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal,
dengan posisi kerangka dilipat.
penguburan di dalam peti batu (dolmen)
·
penguburan dengan wadah kayu, anyaman
bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
·
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat
maupun bentuk penguburan dibedakan :
·
wadah (peti) mayat bukan peti mati :
lungun selokng dan kotak
·
wadah tulang-beluang : tempelaaq
(bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
·
berdasarkan tempat peletakan wadah
(kuburan) Suku Dayak Benuaq :
·
1.
lubekng (tempat lungun)
·
2.
garai (tempat lungun, selokng)
·
3.
gur (lungun)
·
4.
tempelaaq dan kererekng
·
Pada umumnya terdapat dua tahapan
penguburan:
·
penguburan tahap pertama (primer)
·
penguburan tahap kedua (sekunder).
·
Penguburan primer
·
Parepm Api (Dayak Benuaq)
·
Kenyauw (Dayak Benuaq)
·
Penguburan sekunder
·
Penguburan sekunder tidak lagi dilakukan
di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan,
Malinau, Kalimantan Timur, banyak dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang
merupakan peninggalan megalitik. Perkembangan terakhir, penguburan dengan
menggunakan peti mati (lungun) yang ditempatkan di atas tiang atau dalam
bangunan kecil dengan posisi ke arah matahari terbit.
·
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga cara
penguburan, yakni :
·
dikubur dalam tanah
·
diletakkan di pohon besar
·
dikremasi dalam upacara tiwah.
·
Prosesi penguburan sekunder
·
Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder
pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau
(alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah
penguburan pertama di dalam tanah.
·
Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder
pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu
wadah.
·
Marabia
·
Mambatur (Dayak Maanyan)
·
Kwangkai /Wara (Dayak Benuaq)
5.
Upacara Adat Dayak
1.
Upacara Manyanggar adalah sebuah acara adat yang tujuannya doa
keselamatan bagi pelaksanaan suatu pekerjaan. Dalam acara ini juga ada acara
pengusiran terhadap roh jahat yang berpotensi mengganggu pekerjaan. Menyanggar
bisa di artikan sebagai ritual yang di laksanakan dengan tujuan agar terjadi
kehidupan di alam nyata dengan kehidupan di alam gaib.
Ritual
dipimpin seorang mantir adat dengan rapalan doa dalam bahasa Dayak Ngaju. Aneka
bentuk dan jenis makanan tersaji dalam dua buah tempat yang secara adat disebut
samburup.
Ada ayam kampung yang telah dimasak,
telur dan ketan, darah ayam, kue cucur, ketupat, minuman beralkohol. Semuanya
diletakkan di atas nampan yang digantung sebagai persembahan bagi roh-roh di
sekitar lokasi proyek yang mulai dikerjakan. Upacara ini di lakukan sebagai
bentuk penghormatan terhadap alam kehidupan.
2.
Upacara Tiwah
Adalah upacara yang berhubungan dengan
orang yg sudah meninggal,yaitu mengantarkan tulang belulang orang mati menuju
rumah kecil yang sengaja di buat untuk meletakan tulang-tulang orang yang sudah
meningggal.rumah ini dinamakan sandung.
Upacara ini bernilai religi yang sangat
tinggi,karna banyak doa yang di panjatkan.
3.
Upacara Nyobeng
Adalah upacara yang di laksanankan untuk
orang meninggal juga,namun meninggalnya karna di penggal,jadi upacara nyobeng
ini d laksanakan untuk membersihkan tengkorak kepala yang di penggal tersebut.
Tradisi upacara nyobeng (penggal kepala)
Ngayau
merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, baik Dayak yang
tinggal di Kalimantan Barat maupun Kalimantan lainnya. Suku Iban dan Suku
Kenyah adalah dua dari suku Dayak yang memiliki adat Ngayau. Pada tradisi
Ngayau yang sesungguhnya, Ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia dari
pihak musuh. Citra yang paling populer tentang Kalimantan selama ini adalah
yang berkaitan dengan berburu kepala (Ngayau). Karya Bock, The Head Hunters of
Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1881 banyak menyumbang terhadap
terciptanya citra Dayak sebagai “orang-orang pemburu kepala”.
Bagi suku Dayak Ngaju di Kalimantan
Tengah, tradisi mengayau untuk kepentingan upacara Tiwah, yaitu upacara sakral
terbesar suku Dayak Ngaju untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah
meninggal dunia menuju langit ke tujuh (Riwut, 2003 : 203).
Menurut Lebar (1972 : 171), dikalangan
masyarakat Kenyah, perburuan kepala penting dalam hubungannya dengan Mamat,
yaitu pesta pemotongan kepala, yang mengakhiri masa perkabungan dan menyertai
upacara inisiasi untuk memasuki sistem status bertingkat, Suhan, untuk para
prajurit perang.
Pemburu-pemburu kepala yang berhasil
berhak memakai gigi macan kumbang di telinganya, hiasan kepala dari bulu burung
enggang, dan sebuah tato dengan desain khusus..Serangan-serangan para pemburu
kepala dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh hingga
dua puluh orang laki-laki yang bergerak secara diam-diam dan tiba-tiba. Mereka
sangat memperhatikan pertanda-pertanda, khususnya burung-burung. Setelah
digunakan dalam upacara-upacara Mamad, kepala-kepala itu digantung di beranda
rumah panjang, berhadapan dengan ruang-ruang tengah yang menjadi tempat tinggal
ketua rumah panjang
Di masa lalu Suku Dayak Kenyah dilaporkan
sebagai pemburu kepala yang paling terkenal di Kalimantan. Seperti halnya suku
Dayak Kenyah, suku Dayak Iban juga melakukan upacara perburuan kepala yang
disebut Gawai. Upacara ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga
melibatkan pesta besar-besaran dengan minum-minuman dan bersenang-senang
(Lebar, 1972 : 184).
Miller yang seorang penjelajah, misalnya
menulis dalam Black Borneo-nya (1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu
kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh
orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak
kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia.
Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero
kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah dibubuhi ramu-ramuan bila
dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan
hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau ternyata tak cukup kuat,
itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan diperlukan sebuah tengkorak yang
baru.
Sementara itu Mc Kinley menggambarkan
ritual perburuan kepala itu sebagai sebuah proses transisi, dalam mana
orang-orang yang dulunya adalah musuh menjadi sahabat dengan cara memadukan
mereka ke dalam dunia keseharian.
Mungkin ada sebuah pertanyaan, dalam
tradisi Ngayau tersebut mengapa harus kepala dan bukan bagian-bagian tubuh yang
lain yang diambil. Mc Kinley berpendapat (1976 : 124), kepala dipilih sebagai
simbol yang pas untuk ritual-ritual ini karena kepala mengandung unsur wajah,
yang dengan cara serupa dengan nilai sosial tentang nama-nama personal,
merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri sosial (social personhood).
Jati diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut paling manusiawi milik si
musuh dan karenanya
menjadi atribut yang harus diklaim oleh komunitas orang itu sendiri.
Tidak
semua suku Dayak di Kalimantan menerapkan Tradisi Ngayau. Seperti halnya Suku
Dayak Maanyan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat mereka tidak ada istilah
Ngayau, namun berdasarkan cerita para tetuha adat mereka, ketika terjadi perang
waktu dulu para ksatria-ksatria Dayak Maanyan dan Dayak Meratus pada saat
berperang kepala pimpinan musuh yang dijadikan target sasaran mereka. Apabila
kepala pimpinannya berhasil mereka penggal, maka para prajuritnya akan segera
bertekuk lutut. Kepala pimpinan musuh tersebut bukan sebagai pelengkap
ritual-ritual adat sebagaimana yang dilakukan suku Dayak Kenyah, Iban dan
Ngaju, kepala tersebut tetap dikuburkan bersama badannya. Meskipun suku Dayak
Meratus dan Maanyan tidak menerapkan tradisi Ngayau dalam adat mereka, namun
mereka tetap berpendapat bahwa kepala manusia memiliki arti penting yaitu
kepala bagian yang paling atas (tinggi) di tubuh manusia dan memiliki simbol
status seseorang.
Salah satu pengaruh yang cukup besar
dalam kehidupan komunitas Dayak adalah semasa pemerintahan kolonial Belanda
berlangsung yaitu ketika pada tahun 1874 Damang Batu (Kepala Suku Dayak
Kahayan) mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan Musyawarah Damai
Tumbang Anoi. Musyawarah tersebut dikenal dengan Perjanjian Tumbang Anoi. Dalam
musyawarah yang konon berlangsung berbulan-bulan lamanya itu, masyarakat Dayak
di seluruh Kalimantan mencapai kesepakatan untuk menghindari dan menghilangkan
tradisi mengayau. Karena dianggap telah menimbulkan perselisihan di antara suku
Dayak. Akhirnya, dalam musyawarah tersebut segala perselisihan dikubur dan
pelakunya didenda sesuai dengan hukum adat Dayak.
Meskipun hingga kini tidak ada satupun
analisis yang dapat menjelaskan secara pasti dan tepat makna yang tersembunyi
dari tradisi Ngayau tersebut karena ritual ini sedemikian kompleks dan
sedemikian misteriusnya, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tradisi
Ngayau sangat penting bagi penggambaran citra kelompok Dayak yang merupakan
salah satu simbol suatu identitas kesukuan. Pemotongan kepala/ngayau kembali
muncul ketika terjadi kerusuhan antar-etnis melanda Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah beberapa tahun yang lalu
Sistem
Politik Suku Dayak
Pemerintahan desa secara formal berada di
tangan pembekal dan penghulu. Pembekal bertindak sebagai pemimpin administrasi.
Penghulu sebagai kepala adat dalam desa. Kedudukan pembekal dan penghulu sangat
terpandang di desa, dahulu jabatan itu dirangkap oleh patih. Ada pula penasihat
penghulu disebut mantir. Menurut A.B. Hudson hukum pidana RI telah berlaku pada
masyarakat Dayak untuk mendampingi hukum adat yang ada.
Sistem Ekonomi
Suku Dayak
Bercocok tanam di ladang adalah mata
pencaharian masyarakat Dayak. Selain bertanam padi mereka menanam ubi kayu,
nanas, pisang, cabai, dan buah-buahan. Adapun yang banyak ditanam di ladang
ialah durian dan pinang. Selain bercocok tanam mereka juga berburu rusa untuk
makanan sehari-hari. Alat yang digunakan meliputi dondang, lonjo (tombak), dan
ambang (parang). Masyarakat Dayak terkenal dengan seni menganyam kulit, rotan,
tikar, topi, yang dijual ke Kuala Kapuas, Banjarmasin, dan Sampi.
Sistem
Kekerabatan Suku Dayak
Bilateral/ambilineal, yaitu menarik garis
keturunan dari pihak ayah dan ibu. Sehingga sistem pewarisan tidak membedakan
anak laki-laki dan anak perempuan.
Bentuk Kehidupan Keluarga :
1.
Keluarga batih (nuclear family), wali/asbah (mewakili keluarga dalam
kegiatan sosial dan politik di lingkungan dan di luar keluarga) adalah anak
laki-laki tertua,
2.
Keluarga luas (extended family), wali/asbah adalah saudara laki-laki ibu
dan saudara laki-laki ayah.
Peran wali/asbah, misalnya dalam hal
pernikahan, orang yang paling sibuk mengurus masalah pernikahan sejak awal
sampai akhir acara. Oleh karena itu, semua permasalahan dan keputusan keluarga
harus dikonsultasikan dengan wali/asbah. Penunjukan wali/asbah berdasarkan
kesepakatan keluarga.
Perkawinan Yang Boleh Dilakukan Dalam
Keluarga Paling Dekat :
1.
Antara saudara sepupu dua kali. Perkawinan antara gadis dan bujang
bersaudara sepupu derajat kedua (hajenan), yaitu sepupu dan kakek yang
bersaudara.
2.
Sistem endogami (perkawinan yang ideal), yaitu perkawinan dengan sesama
suku dan masih ada hubungan keluarga.
Perkawinan Yang Dilarang :
1.
Incest / Salahoroi, anak dengan orangtua
2.
Patri parallel – cousin, perkawinan antara dua sepupu yang ayah-ayahnya
bersaudara sekandung
3.
Perkawinan antara generasi-generasi yang berbeda (contoh : tante +
ponakan)
Pola Kehidupan Setelah Menikah :
1.
Pola matrilokal, suami mengikuti pihak keluarga istri,
2.
Pola neolokal, terpisah dari keluarga kedua belah pihak. Ketika Huma
Betang (longhouse) masih dipertahankan, keluarga baru harus menambah bilik pada
sisi kanan atau sisi kiri huma betang sebagai tempat tinggal mereka.
Sistem pertalian darah suku Dayak
Kanayatn menggunakan sistem bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai
hubungan kekerabatan, seorang anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu.
Hubungan kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan kekerabatan
ini penting karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama pada perkara
perkawinan. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak merusak keturunan.
Proses Pernikahan
Prosesi tradisi pernikahan Dayak Ngaju
dilangsungkan dengan berbagai tahap. Perkawinan adat ini disebut Penganten
Mandai. Dalam iring-iringan, seorang ibu yang dituakan dalam keluarga calon
mempelai pria, membawa bokor berisi barang hantaran. Sedangkan pihak keluarga
calon mempelai wanita menyambutnya di balik pagar. Sebelum memasuki kediaman
mempelai wanita. Masing-masing dari keluarga mempelai diwakilkan oleh tukang
sambut yang menjelaskan maksud dan tujuannya datang dengan mengunakan bahasa
Dayak Ngaju.
Namun sebelum diperbolehkan masuk,
rombongan mempelai pria harus melawan penjaga untuk bisa menyingkirkan
rintangan yang ada di pintu gerbang.
Kemudian setelah dinyatakan menang pihak
pria, maka tali bisssa digunting kemudian di depan pintu rumah, calon mempelai
pria harus menginjak telur dan menabur beras dengan uang logam. Yang maksud dan
tujuannya supaya perjalanan mereka dalam berumah tangga aman, sejahtera dan
sentosa.
Setelah duduk di dalam ruangan, terjadi
dialog diantara kedua pihak. Masing-masing diwakilkan (Haluang Hapelek). Diatas
tikar (amak badere), disuguhkan minuman anggur yang dimaksudkan supaya
pembicaraan berjalan lancar dan keakraban terjalin di kedua belah pihak.
Sebelum dipertemukan dengan calon
mempelai wanita, calon mempelai pria terlebih dulu menyerahkan barang jalan
adat yang terdiri dari palaku (mas kawin), saput pakaian, sinjang entang, tutup
uwan, balau singah pelek, lamiang turus pelek, buit lapik ruji dan panginan
jandau.
Sesuai dengan adat yang berlaku, sebelum
kedua mempelai sah secara adat, mereka harus menandatangani surat perjanjian
nikah, yang disaksikan oleh orang tua kedua belah pihak. Dan bagi para hadirin
yang menerima duit turus, dinyatakan telah menyaksikan perkawinan mereka
berdua.
Sesuai dengan adat yang berlaku, sebelum
kedua mempelai sah secara adat. Mereka harus menandatangani surat perjanjian
nikah, yang disaksikan oleh orang tua kedua belah pihak. Dan bagi para hadirin
yang menerima duit turus, dinyatakan telah menyaksikan perkawinan mereka
berdua.
Sebelum acara berakhir, masing-masing
keluarga memberikan doa restu kepada pengantin (tampung rawar). Dilanjutkan
dengan hatata undus, saling meminyaki antara dua keluarga ini sebagai tanda
sukacita, dengan menyatukan dua keluarga besar.
Sebuah hajatan yang bernilai tinggi.
semoga tetap terjaga, dan lestari dan membudidaya adat istiadat serta
kebudayaan asli bangsa Indonesia.
Adat Perkawinan Suku Dayak
Seorang gadis Dayak boleh menikah dengan
pemuda suku bangsa lain asal pemuda itu bersedia dengan tunduk dengan adat
Dayak. Pada dasarnya orang tua suku Dayak berperanan penting dalam memikirkan
jodoh bagi anak mereka, tetapi cukup bijaksana dengan menanyakan terlebih dahulu
pada anaknya apakah ia suka dijodohkan dengan calon yang mereka pilihkan. Kalau
sudah ada kecocokan, ayah si pemuda datang meminang gadis itu dengan
menyerahkan biaya lamaran yang disebut hakumbang Auh. Pada orang Dayak Ngaju
umumnya mas kawin berbentuk uang atau perhiasan. Mas kawin di kalangan suku
Dayak biasanya tinggi sekali, karena besarnya mas kawin dianggap sebagai
martabat keluarga wanita.
Upacara perkawinan suku Dayak sepenuhnya
ditanggung oleh keluarga pihak wanita. Untuk pelaksanaan upacara perkawinan
dipotong beberapa ekor babi, sedangkan memotong ayam untuk hidangan dianggap
hina. Pada upacara perkawinan pengantin pria biasanya menghadiahkan berbagai
tanda kenangan berupa barang antik kepada abang mempelai wanita. Sebagai
pernyataan terima kasih karena selama ini abang telah mengasuh calon istrinya.
Tanda kenangan yang oleh orang Dayak Ot Danum disebut sapput itu berupa piring
keramik Cina, gong antik, meriam kecil kuno, dan lain-lain.
Hubungan incest sangat lazim di Iceland: Hubungan Seks Sedarah di Iceland
BalasHapus